Di malam dingin nan gelap itu, waktu tidurku dan teman-teman berhasil tersita oleh ulat kecil putih-putih yang berkumpul di bawah bantal Wawa. Tidak ada satu pun dari kami yang tahu kenapa ada hewan itu ada di sana. Bahkan saat ini, pemiliknya tengah menangis karena syok melihat apa yang baru saja terjadi padanya. Membayangkan bagaimana belatung-belatung itu bergerak di bawah bantal dan telinganya, membuat bulu kudukku langsung berdiri dan merinding sekaligus. Kasihan Wawa.
"Ca, minta tolong ambilkan sapu, serokan, sama plastik juga, ya. Kita harus bersihin tempat ini dan pindahin bantalnya ke luar," titah Ophi. Di antara kami semua, hanya dia yang langsung bergerak memindahkan barang-barang yang lain agar belatung-belatung itu tidak berpindah ke tempat yang lain lagi. Dia memang gadis yang sangat luar biasa pemberani.
Caca segera beringsut dari tempatnya untuk mengambil sapu dan alat yang dibutuhkan untuk membuang hewan-hewan itu. "Ini, Phi."
Tangan kanan Ophi dengan sigap mengambil plastik lebih dulu untuk mengamankan bantal tersebut. Ketika tangannya baru akan memasukkan benda itu, sesuatu mirip plasenta yang panjangnya sekitar lima sentimeter jatuh ke dekat kakinya. Tidak lama, belatung-belatung lain juga ikut berjatuhan dan keluar dari sesuatu yang mirip plasenta tadi.
Kami semua kembali dikejutkan dengan hal itu. Bahkan kali ini, Septy benar-benar mengeluarkan isi perutnya gara-gara melihat kejadian itu. Wawa juga kian mengencangkan tangisnya. Segera, Karin yang duduk di sebelahnya merengkuh bahu Wawa dengan cepat demi menenangkannya.
"Sapunya, Ca!" perintah Ophi cepat sebelum belatung-belatung itu bertebaran dimana-mana.
Sebelum memulai membersihkan hewan itu, Ophi lebih dulu memasukkan bantal ke dalam plastik, barulah dia meminta Caca menaruhnya ke luar. Melihat Ophi sedikit kesusahan memegang sapu, plastik, dan serokan bersamaan, aku segera beranjak membantunya, meski aku sendiri sangat takut melihat ulat-ulat kecil itu.
Setelah dua puluh menit bertarung melawan rasa jijik dan mual, akhirnya aku dan Ophi merasa lega karena kamar kami sudah bersih kembali. Karpet, kasur, sprei yang dipakai Wawa sudah diamankan dan diletakkan di teras depan. Juga, lantainya pun sudah dipel bersih. Semua itu kami lakukan dengan susah payah melawan rasa kantuk. Bagaimana kami tidak mengantuk? Ini sudah pukul setengah satu dan kami harus bekerjasama membasmi belatung yang datangnya entah darimana.
Waktu kian melaju, sementara anak-anak ruang lima belas--kecuali Laila--masih duduk merenung di depan lemari masing-masing. Aku tidak tahu kenapa gadis itu tidak bangun ketika kegaduhan itu terjadi. Dia tetap tidur seolah tidak terjadi apa-apa di sini. Bahkan bergerak pun tidak. Atau, dia memang seperti itu ketika tidur? Mirip orang meninggal.
Saat ini, suasananya sudah sepi dan sunyi. Semua yang berada di ruangan itu diam, tidak ada yang membuka suara karena fokus dengan pikiran masing-masing.
Aku menoleh ke arah Wawa. Gadis itu terlihat sedang melamun. Kedua matanya sembab, ujung hidungnya memerah. Mungkin dia masih syok dengan apa yang baru saja terjadi. Sementara Septy yang tadi muntah-muntah, saat ini sedang mengolesi perut dan kepalanya dengan minyak kayu putih.
"Malam ini kamu tidur di kasurku saja, Wa." Ophi bersuara, sekaligus memecah keheningan malam yang tercipta sejak tadi. Kami semua menoleh ke arahnya yang sedang membersihkan bantal dan gulingnya. Mungkin dia sedang memeriksa apakah tempat tidurnya benar-benar aman ditempati atau ada sesuatu juga di sana. "Di sini bersih kok, aman," sambungnya seraya tersenyum.
Wawa dengan mata sembabnya mengangguk dan membalas senyum itu sebisa mungkin. "Makasih, Phi."
"Yang lain juga istirahat, gih. Bentar lagi azan tahajud. Ketua kamar pasti ngebangunin." Ophi kembali mengingatkan.
Andai saja Kak Dania tidak izin pulang karena ada acara di rumah, pasti kami tidak akan sekhawatir ini. Namun, ketua kamar lima belas itu sudah hampir tiga hari belum kembali ke asrama. Jadi, yang membangun kami setiap harinya adalah ketua kamar sebelah yang diminta tolong oleh kak Dania.
"Kamu tidur dimana, Phi?" tanya Karin.