Siang sudah menyapa. Hawa panas pun kembali terasa setelah awan hitam menemani semesta. Aku kira, hujan lebat akan kembali mengguyur sebelum Zuhur. Sayangnya, semakin siang, langit nampak semakin cerah. Suasananya sukses menyebabkan rasa gerah. Apalagi setelah bertarung melawan roh yang merasuki tubuh Septy.
Kini, gadis itu masih terlelap dan belum bangun. Kami semua yang menunggunya tidak hentinya merapalkan doa agar gadis itu lekas sadar. Namun, semakin ditunggu, Septy semakin tidak menimbulkan pergerakan apa-apa. Kami semua benar-benar khawatir.
"Bagaimana keadaannya?" tanya seseorang yang muncul di depan pintu setelah mengucap salam. Dia adalah ustazah Dila. Mungkin beliau ke sini karena salah satu dari kami belum ada yang memberitahu tentang perkembangan Septy.
"Belum ada perubahan, Ustazah," jawab Ophi, lalu bangun dari duduknya demi memberi tempat untuk ustazah Dila.
Kami semua kembali diam saat ustazah Dila meletakkan telapak tangannya di kening Septy, sama-sama menunggu kalimat apa yang akan keluar dari bibir beliau setelah memeriksa kondisi gadis yang masih terbaring itu.
"Ophi, tolong ambilkan air dingin dan sapu tangan, ya." Ustazah Dila memerintah sambil menatap si pemilik nama. Ophi mengangguk dengan cepat dan beranjak tanpa diperintah lagi. Sementara yang lainnya kembali memfokuskan perhatian pada ustazah Dila.
"Septy kenapa, Ustazah?" tanyaku penasaran. Karena raut wajah beliau sama sekali tidak menyiratkan sesuatu yang bisa membuat kami tenang.
"Badannya panas. Sepertinya dia demam."
Kalimat itu semakin membuat kami bungkam dan rasa cemas semakin membuncah ke permukaan. Aku sangat takut jika Septy akan sakit setelah kejadian ini. Terlebih dia belum bangun-bangun dari beberapa jam yang lalu.
"Ini, Ustazah." Ophi sudah kembali dengan baskom di kedua tangannya. Setelah memberikan benda itu pada Ustazah Dila, barulah ustazah Dila mengambil sapu tangan, mencelupkannya ke dalam air, lalu meremasnya sebentar dan menempelkannya pada kening Septy. Hal itu dia lakukan berulang kali. Bukan hanya di kening gadis itu, tapi juga leher dan telapak tangan.
"Biar saya saja yang menggantikan, Ustazah," kata Karin berinisiatif untuk membantu teman dan ustazahnya. Dia tahu jika ustazah Dila punya urusan lain yang harus diselesaikan di pondok.
"Kalian tetap jaga di sini, ya. Saya mau kembali ke ruangan dan membicarakan masalah ini dengan Bu Nyai. Kalau kondisinya masih belum membaik, kami akan segera menghubungi orang tua Septy."
Pemberitahuan itu membuat kami semua mengangguk paham. Setelah itu, barulah ustazah Dila pergi meninggalkan ruangan. Saat itu juga, helaan napas yang tertahan entah sejak kapan keluar bersamaan memenuhi ruangan.
"Bangun, Septy," gumam Karin sambil membersihkan wajah Septy dengan sapu tangan yang dipegangnya. "Kamu mau tidur berapa lama lagi? Kita semua nungguin kamu."
Kami hanya diam mendengarkan apa yang dikatakan Karin. Aku paham dengan perasaan gadis itu karena kami merasakan kesedihan yang sama.
"Dia ... pasti baik-baik saja, Rin," hibur Wawa sambil mengusap punggung Karin agar dia bisa lebih tenang.
"Bagaimana kalau dia tidak bangun-bangun?" Karin mulai meracau. Beruntung, Ophi dengan cepat memberinya nasehat.
"Jangan pesimis seperti itu, Rin. Takdir manusia ada di tangan Yang Maha Kuasa. Jika kita berdoa dan berpasrah diri pada-Nya, insyaallah akan ada jalannya." Ophi selalu tampil di saat yang paling tepat. Memberikan beberapa kalimat yang membuat siapapun terpikat. "Septy pasti sembuh. Dia akan berkumpul lagi dengan kita."
Karin yang mendengar itu, perlahan menganggukkan kepalanya. "Itu adalah doa yang aku harapkan segera menjadi nyata, Phi."
***
Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa, menunggu Septy siuman hampir membuatku tidak sadar jika waktu sudah memasuki sore. Langit kembali gelap oleh awan-awan hitam yang merayap di angkasa. Aku berharap malam ini tidak turun hujan lebat, karena orang tua Septy akan datang menjemput putrinya untuk dibawa pulang.
Setelah dirundingkan dengan kepala yayasan, ustazah Dila memberitahu kami jika Septy harus dipulangkan untuk mendapat perawatan lebih intensif di rumahnya. Entah sampai beberapa hari ke depan kami tidak akan bertemu dengan gadis itu. Kami hanya berharap jika kondisi Septy akan pulih lebih cepat dan bisa kembali ke asrama. Berkumpul lagi bersama kami di sini.