Innalilahi wa innailaihi roji'un
Sesungguhnya kami milik Allah, dan kami akan kembali kepada-Nya
Kalimat itu sepertinya sedikit cukup menyadarkan kami bahwa semua yang ada di dunia akan binasa. Ayat itu cukup menjadi tamparan jika dunia hanya masalah hitungan waktu dan kematian itu pasti adanya. Jika sudah habis masanya, maka apa yang ada saat ini akan kembali pada pemilik aslinya.
Raga yang saat ini masih kuat bergerak kesana-kemari, suatu saat nanti akan kaku dan tertimbun dalam bumi. Harta yang saat ini dimiliki, suatu saat nanti tidak akan berguna lagi jika kematian sudah menjemput. Lalu apa yang perlu dibanggakan manusia? Sementara semua yang dia punya sekarang tidak akan bertahan lama.
Ketika manusia meninggal, tidak ada hal yang akan menemaninya selain amal kebaikan. Keluarga, jabatan, harta, bahkan tahta akan meninggalkannya. Di alam kubur, alam yang menjadi pintu menuju kekekalan, manusia hanya seorang diri. Sayangnya, banyak manusia yang sering lupa akan hal itu. Mereka mengira jika hidup masih panjang, padahal maut senantiasa ikut kemanapun manusia pergi. Mereka mengira, jika setelah mati tidak ada kehidupan lagi. Padahal justru menjadi awal kehidupan yang sebenarnya.
Dan sekarang, Laila sudah memulai kehidupannya yang sebenarnya di sana. Gadis itu, kini sudah benar-benar pergi. Meninggalkan kami semua dengan duka yang begitu dalam.
Bagaimana tidak? Belum selesai kami syok dan sedih karena kepergiannya dari asrama, kami semakin dibuat terpukul dengan kabar meninggalnya. Tidak ada yang menduga dia akan pergi secepat itu. Pamitan siang itu, benar-benar menjadi pamitan terakhir kami.
"Kamu mau ikut menabur bunga juga?" tanya Ophi menyadarkan lamunanku. Menyaksikan prosesi pemakaman Laila tadi membuat pikiranku benar-benar kosong. Air mataku rasanya sudah habis ketika melihat jasad Laila dibawa dengan keranda menuju pemakaman. Tidak terbayang bagaimana kacaunya rupa wajahku saat ini.
Setelah keluar dari ndalem beberapa jam yang lalu, aku dan semua teman-teman lekas bersiap untuk ikut keluarga pesantren menuju rumah Laila. Meski dengan perasaan yang berkecamuk, kami semua berhasil sampai rumah duka tepat di saat jenazah Laila dibawa ke masjid untuk disolatkan. Dari sana, kami ikut mengantar Laila sampai tempat peristirahatan terakhir.
"Ayo, Zah!" Ophi yang sudah bangun lebih dulu segera menarik tanganku agar ikut dengannya. Kini, aku sudah lebih dekat dengan makam Laila. Bau tanah basah tercium begitu kuat ketika kami sampai. Namun, kami tidak bisa langsung menaburkan bunga-bunga di atas makam Laila karena masih ada mamanya yang meraung di sana. Bu Nyai sudah duduk di sebelahnya demi menenangkannya.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati wanita itu melihat anak semata wayangnya sudah pergi meninggalkannya. Pasti dia sangat terpukul. Mengingat betapa sayangnya wanita itu pada Laila. Akan tetapi, ajal dan takdir manusia ada di tangan Allah semata. Tidak ada yang bisa merubahnya.
"Ikhlaskan Laila, Bu. Dia sudah bahagia di tempatnya sekarang," nasehat Bu Nyai.
"Apa selama ini dia tidak bahagia bersama saya, Bu? Sampai dia tega meninggalkan saya sendiri?" kata wanita itu masih memeluk erat nisan sang putri. "Apa yang harus saya lakukan agar dia bisa bersama saya lagi?" Wanita itu mulai mengeluarkan kata-kata yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati bisa dihidupkan lagi?
"Tidak ada yang bisa dilakukan selain mendoakannya, Bu. Sikap Ibu yang seperti ini justru akan memberatkan langkahnya. Biarkan dia tenang di sana. Sudah cukup Ibu menahannya selama ini. Sudah cukup Ibu membuatnya tersiksa selama ini"