Aku selalu ingat suara langkah kaki yang berat itu, di lorong panjang rumah kami. Suara itu seperti gelombang yang menghempas ketenangan, menghancurkan momen kecil kebahagiaan yang sebenarnya tidak pernah lama.
Dulu, ketika aku masih anak-anak, aku sering bersembunyi di balik tirai jendela ruang tamu. Dari sana aku mengamati dunia luar yang terasa jauh dari asing. Ibu dan Ayahku sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka itu, dua orang yang tampak sempurna di mata orang lain. Tapi di balik itu, rumah kami adalah medan perang yang sunyi.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Sejak bayi, aku lebih sering diasuh oleh pembantu dan baby sitter daripada oleh mereka. Aku ingat betul bagaimana aku mencari-cari perhatian, tapi selalu saja sia-sia. Buku-buku menjadi pelarian terbaikku. Aku tenggelam dalam cerita, membiarkan imajinasiku terbang ke tempat di mana aku merasa aman, di mana luka-luka tidak pernah menggores hati.
Namun, kenyataan tetap datang menghantam. Kekerasan fisik dari orang tuaku bukan sesuatu yang bisa aku hapus dari ingatan. Itu mengukir bayangan kelabu dalam jiwa, sebuah bagian diriku yang aku simpan rapat-rapat. Aku tidak pernah bisa memaafkan mereka.