Raras baru mengeluarkan ponsel dari tas selempang miliknya , ternyata ada 4 panggilan masuk tak terjawab dari suaminya, Beni (31) sejak dua jam yang lalu. Ia menelepon Beni balik.
“Halo, Beb ...,” jawab Beni.
“Maaf, tadi aku lagi repot mengurus persiapan pameran. Ada apa?”
“Ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Sekarang aku sudah di rumah, kamu pulang jam berapa?”
Raut wajah Raras berubah, karena tidak biasanya Beni akan mengajak bicara seperti ini. Toh setiap hari mereka bertemu di rumah dan tidur pun juga sekamar, bahkan sekasur. “Kalau aku boleh tahu, mau bicara tentang apa?”
“Hem ... tentang kita. Dan ini serius, karena untuk pernikahan kita juga. Eh, tapi enggak usah di rumah. Kita ketemu di kafe daerah Kemang ya, langganan kamu. Kamu pulang jam berapa?”
“Oh iya, sebentar lagi aku pulang kok. 10 menit lagi aku ke sana,” Raras baru menjawab pertanyaan Beni tentang jam pulangnya.
“Oke, Beb. Sampai ketemu nanti ya.”
“Oke, see you ....”
Klik. Beni mengakhiri panggilan.
Raras membereskan ruang kerjanya dengan cepat. Menutup tirai, memisahkan catatan-catatan yang penting dan yang tidak, mengunci laci dan terakhir mematikan AC. Ia keluar dari Galeri menuju mobilnya, lalu melaju ke kafe.
Raras duduk di teras rumah kaca. Di seberang meja, Beni menatap secangkir kopi dinginnya. Udara terasa lebih berat dari biasanya.
“Ada yang mau aku bicarakan serius ke kamu,” kata Beni. Suaranya rendah sambil memainkan cincin pernikahan.
Raras mengangguk. Matanya tetap pada cangkir, “Silah kan bicara.”
“Kita ... sudah lama menikah. Tapi belum punya anak. Kamu enggak mau untuk mencoba?”
Raras meneguk kopi, rasanya asam. Ia mengingat kembali masa kecilnya. Pengasuh selalu berkata, “jangan mengganggu orang tuamu. Mereka sibuk.”
“Kamu tahu,” jawabnya, “aku tak yakin siap.”