Pria tua lain berjalan mondar mandir di tepian kali Ancol, sesekali Ia berjongkok memungut batu kecil lalu melemparnya ke permukaan kali Ancol yang keruh. Ia seperti asik sendiri, tak peduli lalu lalang orang dan bisingnya kendaraan. Dari kulitnya yang keriput dan rambutnya yang memutih, bisa ditebak usianya mungkin delapan puluhan. Ia tampak lusuh dengan pakaian compang camping yang dikenakannya.
"Kek, pulang. Nanti kecebur." anak- anak sekolah dasar yang baru pulang menegur saat melintasinya.
"Pulang kemana?” lelaki itu tampak tak mengerti. Matanya yang berselaput katarak bergerak-gerak bingung.
“Ke rumah kek, masa ke kuburan.” mereka menyahut sambil tertawa keras. Lalu berlari menyeberangi jalan menuju rumah masing-masing di tepian rel kereta api.
“Anak-anak nakal.”
Si kakek menoleh ke kanan kiri saat mendengar suara perempuan di dekatnya, tapi tak ditemukan sosok yang berada di dekatnya.
“Siapa itu?” Si Kakek terbata bertanya.
“Maryam.“
“Bohong. Kamu hantu!“ Si Kakek membungkuk, memungut kerikil dan melemparnya ke arah asal suara.
“Menjauh dari empang. Pergi, pergi!“ Si Kakek terus memunguti batu dan melempar ke sana kemari.
Ia sepertinya menganggap Ancol masih berupa empang-empang sama seperti puluhan tahun silam saat Ia masih mengayuh perahu. Si kakek sepertinya tak lagi menyadari kalau Ia sekarang hidup di sekitar Ancol yang empangnya telah berubah menjadi kanal banjir dan atasnya terdapat jembatan layang.
“Kek, kakek masa tidak melihatku? Aku Maryam yang tahun enam puluhan kerap menganggu. Aku naik perahu kakek malam-malam dan membayar ongkosnya dengan daun. Kakek ingat tidak?”
“Oh Maryam. Maryam tontong jaenab. Oh Maryam tongtong.” Si kakek berhenti memunguti batu.Ia malah bernyanyi dan berjoged sendiri.
“Akh kakek sudah pikun.“ Maryam yang kesal menghilang dari hadapan si kakek. Ia berencana pergi menemui temannya yang lain.
Salah satu kios di pasar seni Ancol baru saja dibuka, pemiliknya seorang pelukis tua paruh abad. Ia tampak disibukkan dengan lukisan-lukisan yang hendak ditatanya di teras depan kios.
“Kliwon, lukisanku apa sudah jadi?” suara teguran mengagetkan pria tua itu. Ia reflek menolehkan kepala dan terkejut begitu tahu siapa yang datang menemuinya.
“Kau kemana saja? Ini sudah tahun berapa? Dulu tahun 1993 saat film Si Manis Jembatan Ancol tengah booming kau malah kabur tak mau dilukis.” pria tua yang dipanggil Kliwon itu marah-marah.
Suaranya terdengar hingga ke kios lain dan membuat pemilik kios lain menoleh heran. Mereka mengira Kliwon bicara sendiri.
Kliwon yang menyadari tatapan dari pemilik kios lain buru-buru menutup kiosnya kembali.
“Dulu kan orang maunya lukisan Dyah Permatasari bukan aku.” perempuan berkebaya kuning dan berbatik merah itu tertunduk takut-takut.