Tahun 1998, saat itu aku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar dan Baru saja kenaikan kelas dari kelas 4. Seperti anak-anak pada umumnya aku berangkat ke sekolah seperti biasanya, datang jam 7 pagi dan pulang jam 12 siang, saat jam istirahat aku gunakan untuk bermain kelereng bersama teman-teman sebaya lainnya di depan kelasku, terkadang kami juga diam-diam pergi ke sungai hanya untuk mandi dan meloncat dari pohon beringin yang berada tidak jauh dari pinggir sungai. Ukuran badanku paling kecil dari teman-teman sekelasku lainnya dan aku memang lebih muda usianya dari mereka. Terkadang ibu guru suka menggendongku karena tubuhku yang mungil. Hari demi hari, minggu demi demi minggu dan bahkan sebulan, tibalah saatnya guru menagih uang sekolah bulanan (SPP). Pesan dari ibu guru aku sampaikan pada ayahku bahwa pembayaran uang sekolah sudah diminta oleh ibu guru, namun ayahku hanya menjawab "katakan saja tidak ada uang", sampai akhirnya ibu guru meminta yang ke tiga kalinya dan ayahku menjawab " bilang saja kalau uangnya tidak ada dan aku akan berhenti sekolah".
Sesaat aku tertegun dan terdiam setelah aku mendengar ucapan ayahku, dalam hatiku aku bertanta-tanya kenapa tiba-tiba aku disuruh berhenti sekolah, apakah karena memang ayahku sudah tidak sanggup lagi untuk menyekolahkanku, atau karena hal lainnya yang aku mungkin tidak ketahui. Sebelumnya aku memang pernah mendengar kabar dari orang-orang sekitaran rumahku tentang akan diberangkatnya teman-temanku ke pondok pesantren, tapi itu teman-temanku yang sudah tamat Sekolah Dasar, dan abangku akan diikutsertakan juga setelah tamat sekolah dasar. Sama sekali aku tidak berpikiran bahwa aku akan dimasukka ke pondok pesantren yang jauh dari kampung halamanku. Pondok pesantren tersebut kabarnya tidak memungut biaya apapun dari murid-murid atau santri yang menuntut ilmu di situ, semua biaya ditanggung oleh pihak pondok pesantren termasuk makan tiga kali dalam sehari.
Malam hari waktu berjalan seperti biasanya, aku dan keluargaku duduk-duduk di ruang tamu diterangi lampu minyak, kegiatan seperti ini memang kami lakukan setiap selesai makan malam. Ayahku melirik kepadaku dan berkata "kamu minggu depan berhenti sekolah dan ikut rombongan masuk pesantren". Aku hanya terdiam sambil berpikir "kenapa jadinya aku yang dimasukkan ke pesantren". Aku tidak berani untuk menolak, yang aku tahu ternyata abangku tidak mau masuk pesantren, sehingga akulah yang menjadi penggantinya. Hanya satu kata yang terucap dari mulutku setelah mendengar ucapan ayahku tersebut. Aku hanya menjawab "iya" dan bingung saat itu.
Sangat berat rasanya diusiaku yang masih sangat muda harus berpisah jauh dari orang tuaku, harus meninggalkan masa kanak-kanakku dan harus hidup mandiri di pesantren. Dengan berat hati saat itu aku hanya menjawab "iya" saja karena takut dimarahin orang tuaku jika aku tidak mau menuruti keinginannya. Membayangkan hidup dan tinggal di pesantren saja belum ada terlintas dalam otakku, bahkan bentuk pesantren saja aku sama sekali tidak tahu apalagi Pesantren itu adalah pesantren khusus untuk menghafal Al-Qur'an. Mengaji saja aku baru tamat juz Amma dan baru memasuki ke Al-Qur'an, rasanya semakin takut bagaimana nanti kalau disuruh menghafal Al-Qur'an.