Mentari pagi bersinar cerah seperti hari-hari biasanya. Sinarnya menyeruak masuk membawa terbang butiran-butiran debu yang menari-nari indah ke sana-kemari.
Seorang pria tertidur nyenyak lengkap dengan pakaiannya serta selimut yang menyelimuti tubuhnya. Perlahan pasti, cahaya mulai bergerak menyelimuti kulitnya yang pucat, mengenai wajah tidurnya. Rasa hangat menjalar membangunkan sensasi motoriknya untuk menggerakkan tangannya mengangkat selimut tebal guna menutupi wajahnya. Enggan menerima alarm pagi untuk segera memulai rutinitas paginya.
Namun kesadarannya menolak keinginannya itu.
Satu persatu, semua indranya menangkap hal-hal kecil yang akan membuatnya terbangun, seperti; suara tetesan air kran yang rusak terus berjatuhan layaknya irama detik jarum jam dinding yang mengejar masuk di dunia mimpi.
Atau hembusan udara bercampur dengan hangatnya mentari pagi yang menyentuh kulitnya beberapa saat yang lalu.
Jengkel, saat otaknya mengingat dalam mimpinya bahwa hari ini adalah hari pemeriksaannya. Bahkan alam bawah sadarnya berusaha membangunkannya.
SRAAK!!
Pria itu terbangun, membuka kasar selimut di wajahnya sebelum ia dalam posisi duduk di atas ranjangnya.
Hembusan berat keluar lepas dari bibirnya. Pria itu mendongak, melihat jam dan tanggal yang tertera pada jam digital di dinding depan ranjangnya.
Pip!
Sebuah notifikasi handphone muncul, pria itu lantas berkedip sesaat lalu menolehkan kepalanya melihat layar handphone miliknya itu menyala. Bibirnya pun berkedut, mengerti siapa yang akan mengiriminya pesan sepagi ini.
Tak ingin berlama-lama di atas ranjang, pria itu bergerak merenggangkan otot-otot tubuhnya. Lalu kedua kakinya bergeser bergerak turun menyentuh lantai kayu apartemen yang dingin. Diraihnya sebuah gelas di atas meja yang berisi air mineral. Handphone-nya terus saja menyala, pertanda tidak hanya satu pesan yang masuk.
Tepat setelah ia meletakkan gelas berisi air mineral yang sudah ia minum habis. Pria itu meraih ponsel tersebut, menggeser layar lalu menekan notifikasi tersebut.
Sayang, selamat pagi.
Kamu sudah bangun, kan? Segera bersiap, aku menunggu di tempat biasa.
Kita pergi bersama, aku akan menemanimu.
Pria itu pun mulai menekan huruf demi huruf merangkai kata demi kata untuk menyampaikan pesannya.
Ya, aku baru terbangun.
Baiklah, tunggu aku di sana, satu jam lagi aku akan sampai.
Sosok wanita yang menerima balasan pesan kekasihnya pun tersenyum. Ia rela bangun lebih pagi, dan pergi memasak di dapur saat semua orang belum terbangun hanya agar bisa menikmati sarapan bersama dengan kekasihnya.
Bunyi ding terdengar, pesan lainnya pun masuk, wanita itu segera menggeser layar dan membaca pesannya.
Kamu...
Jangan lupa untuk sarapan di rumah lebih dulu.
Hilang sudah senyum di wajahnya, niat hati ingin makan bersama dengan kekasihnya. Tapi kekasihnya menginginkannya untuk makan di rumah saja. Sebuah helaan napas berhembus pelan, tak apa pikirnya. Dia akan tetap membawa bekal itu saat berjalan bersama kekasihnya lalu menyerahkannya pada kakak sepupunya saja.
Maka tidak akan ada yang sia-sia.
***
Usai pemeriksaan rutin kekasihnya, wanita itu pasti meminta waktu lebih lama dengan dokter spesialis itu untuk mendikusikan sesuatu. Lelaki itu enggan untuk melanjutkan sesi konsultasi dan memilih keluar lebih dahulu.
“Kak, ini aku membawakan sarapan untukmu, tadinya.” Ucapnya sedikit memelas.
“Tadinya, untuk kekasihmu?” ledeknya.
Wanita itu mengangguk pelan, merasa tak enak karena niatnya salah. “Kak ... ”
Pria itu hanya berdeham menjawab panggilannya, langsung membuka dan menyantap sarapan yang dibuat oleh adik sepupunya.
“Apakah ... ada cara lain agar ia terpaksa menjalani operasi yang persentasi keberhasilannya kecil itu?” wanita itu sudah nyaris putus asa, menatap dokter speasialis jantung untuk kekasihnya.
“Ada, tapi tidak akan berhasil juga jika pendonornya tidak ada.”
“Jika ... jika saja ... orang itu benar-benar ada, apa kakak akan melakukannya?”
“Tapi harus dengan persetujuan keluarganya atau pasien itu sendiri.”
Seketika tangannya terkepal erat. “Kalau begitu lakukan!”
Kakaknya mendelik dari sesi menyantap makanannya, melirik tajam ke arah wanita di depannya. “Apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu?”
Wanita itu menatap teguh kakaknya dengan gurat sedih dan memohon.
"Dengar, adik sepupuku yang mungil. Kakakmu ini bukan dokter gadungan. Jadi tidak bisa melakukan oper..."
Sebuah kertas diserahkannya, lembaran demi lembaran berisi pernyataan yang mengejutkan.
“Dengan ini, apa kakak bisa melakukannya untukku?”