" Masih sakit?" Tanyaku.
" Menurutmu??" Terdengar seperti setan yang belum mendapatkan jatah tumbal. Mungkin Mamed menahan rasa sakit saat bermain basket kemarin.
" Makanya, jangan jadi orang cabul" hardikku.
" Aku bukan orang cabul... Kau saja yang merasa dicabuli" sergahnya.
Aku pegang dan belai lembut jemari itu, tampak ia mulai tenang. Tapi tiba-tiba aku ingat kejadian kemarin sore. Kejadian yang sama ditempat kami duduk saat ini.
Ia begitu lancang denganku!.
Maka, segera aku kuatkan menyiksa jemarinya! Ia patut dihukum untuk kejadian kemarin. Aku masih memendam amarah, biar jari itu yang menjadi pelampiasan!.
Ia meringis kesakitan, air matanya berlinang. Kurasa sudah cukup dendam terbalaskan, saatnya memasang wajah bersalah.
" Eh... Ini asli sakit?" Tanya ku.
" Iyalah gobl0g!!" Bentaknya.
Nada tinggi yang ia lontarkan sama sekali tak mengganggu, karena yang terpenting ialah dendam terbalaskan.
" Ku kira kau bercanda"
" Aarrrggghhhhh!!!" Tampak begitu kesakitan, apa jangan-jangan aku terlalu keras? Rasanya aku juga kasihan, tapi mengingat kejadian kemarin sore membuat ku merasa itu semua kurang sepadan.
Tapi... Mungkin memang aku saja yang terlalu berlebihan.
Sedikit rasa sesal menghantui, aku tarik Mamed menuju kantin dan memberi es di sela jemarinya. Ia kembali mulai tenang, mungkin ia merasa baikan atau bisa juga ia diam untuk memikirkan cara balas dendam.
Aku harus antisipasi jika hal konyol itu terjadi.
Sebuah bohlam muncul begitu saja diatas kepala. Aku Lempar tas keluar sekolah melewati pagar tinggi menuju rumah sakit. Hari ini ialah classmeeting, kami memiliki sedikit kebebasan. Maka, sayang rasanya jika kebebasan itu tak digunakan sebaik mungkin.
Basa-basi pada penjaga gerbang untuk sekedar foto copy didapatkan dengan mudah.
Mamed segera kubawa pulang.
Sesampainya di rumah, mama kaget kenapa kami bisa pulang lebih awal. Butuh penjelasan ringan untuk hal receh itu.
" Ini kenapa??" Tanya mama melihat balutan dasi di jemari bocah ini. Dan tampak ia bingung ingin bagaimana cara menjawab pertanyaan mamaku.
" Kamu yang buat ini semua??" Kini mata mama tajam menatapku.
" Enggak kok Tante, tadi main basket... Jatuh" ucapnya, setidaknya ada hal yang membuatku selamat dari kopi hangat.
" Mana?? Seragam mu bersih" tanya mama, jujur aku tak berpikir sejauh itu sebelum menyakiti dan membawa bocah ini pulang. Sudah kuduga, aku tak akan selamat kali ini. Perkiraanku meleset jauh.
Mata mama kembali menatapku tanpa berkedip. " Kamu apakan??" Intonasi cukup mengintimidasi
Mama membuka balutan dasi, jemari Mamed terlihat membengkak. Aku memang terlalu keras!.
" Ya Allah... Astaghfirullah! Ini kenapa??"
" Ma..." Cukup heran aku dibuatnya karena tiba-tiba mama berubah menjadi muslim.
" Jangan ikut campur" ucap mama.
Heeeehhhhhh.....
Sudah pasti kopi hangat akan kudapatkan karena bocah ini. Apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan diri?? Tak ada!. Tidak ada cara lain lagi selain menikmati kopi hangat yang akan segera disajikan.
Nenekku membawa Mamed masuk kedalam, mencoba mengobati dengan pijat dan minyak urut. Ada rasa senang ketika ia mau tak mau harus menikmati sakitnya pijat. Tapi ada juga rasa penyesalan.
Mungkin tanpa Mamed, aku tak akan bisa merasakan sensasi seperti itu. Tapi sungguh menjijikkan ketika bibir joroknya bisa menyentuhku!.