Kecelakaan tak bisa dihindari!
Aku tersadar saat sudah berada di klinik, begitu juga dengan Mamed. Ia sudah di duduk di kursi sehabis ditangani oleh perawat. Hidungnya disumpal tisu. Ia tersenyum lebar, selebar landas pacu yang menunjukan giginya dihiasi bercak darah. Senyuman lebar seolah tersirat ingin mencekik dan memaksaku membayar mahal atas aksi konyol ku.
Orang tuaku datang dengan cukup heboh. selain membuatku cukup malu, aku juga mendapat kopi anget karena aksi konyol di jalanan.
******
Aku cukup takut jika terkena amarah ibu Mamed, tapi sebaliknya kami malah mendapat sedikit sarkas.
Hanya sebatas sarkas, tidak lebih. Kemudian semua kembali seperti semula seolah tak terjadi apa-apa. Tangan kiri ku mendapat perban serta penahan, Mamed juga mendapat hal yang sama. Juga sama-sama pincang!. Entah jodoh atau bukan, kami mendapat luka di tempat yang sama.
" Papa malu! Mau ditaruh mana muka papa?" Papa marah.
" Sudahlah Ed, jangan marah" ujar ibu Mamed.
Langsung saja papa diam tak bersuara menuruti, aku sedikit terbantu.
****"
" Terus ini gimana?" Tanya papa setelah sampai dirumah, terlihat masih kesal sepulang dari rumah Mamed.
" Benerin motornya lah" jawab nenek tiba-tiba ikut join.
Papa kembali tak berkutik karena ini.
Dan akhirnya...
Setelah beberapa hari beristirahat, aku bisa kembali masuk sekolah. Tentu saja dengan hiasan tawa dan hinaan. Tak terkecuali Diana dan Diana!.
" Itu tanda jodoh...!" kata Diana menahan tawa melihat kondisi konyol ku ini.
" Jodoh dari Hongkong!".
" Lho, kalian mendapat luka yang sama".
" Bukan berarti jodoh" ucapku.
Hinaan masih saja ku terima, sangat amat wajar dalam persahabatan. Hingga bel istirahat berbunyi aku memilih menuju kopsis untuk membasahi tenggorokan kering bak gurun Sahara.
" Kau lepas perbanmu itu?" Tanyaku melihat Mamed sok kuat.
" Malu " jawabnya singkat.