Kali ini keberuntungan menjauhiku, terbaring lemas di rumah sakit sangat aku benci. Mau tak mau aku harus menurut untuk mendapatkan perawatan rumah sakit. Demam berdarah menjadi penyakit mengerikan saat itu. Dan aku salah satu pasien dengan gejala demam berdarah.
Khayalanku melayang jauh mengingat kenang bersama Mamed. Jika ada dia di sini, mungkin... Mungkin akan terasa mulai menyenangkan. Tak ku sangka, ia benar-benar datang dengan buah tangan. Aku tersenyum melihatnya ada disini, seolah apa yang terjadi kemarin tak pernah ada. Tetapi tuhan berkehendak lain, tuhan mengunci mulutku seharian ini.
Kebisuan tercipta karena ini, apakah ia masih benci padaku atas kejadian kemarin?. Aku juga takut jika aku berbicara malah akan memperburuk keadaan. Apa yang harus aku lakukan agar suasana canggung ini hilang??.
" Hai" ucapnya.
Aku tertegun sejenak ketika ia mulai membuka mulutnya.
" Ini untukmu" ucapnya menyerahkan pemutar lagu.
Waktu terlalu cepat berlalu, langit mulai menguning. Panggilan ibadah mulai melantun syahdu. Jujur aku selalu suka ini, mengalun-alun membuat jiwa begitu tenang. Ia memilih undur diri dan menghilang.
Kini aku sendiri di kamar ini, aku lebih suka ada dirinya di sini walau hanya ada kebisuan daripada benar-benar sendirian.
" Nek, Mamed mana??" Tanyaku.
" Besok dia kesini lagi".
Suhu tubuh kembali meningkat drastis, membuatku lemah tak berdaya. Dan rasa sakit di sekujur tubuh membuatku menangis kecil karena tak kuat menahan.
Malam ini cukup sunyi, suara tangisku menggema di ruangan ini. Suara pintu terbuka membuatku berhenti menangis. Mamed kembali datang dengan kondisi acak-acakan. Ada goresan kecil di lengannya. Aku pura-pura sudah terlelap sejak ia datang, kubuka mata sedikit agar bisa melihatnya. Aku ingin mendengar semuanya tanpa ada interaksi, aku masih takut untuk membuka mulut.
" Kamu kenapa lagi??"
" Jatuh nek" jawabnya.
" Kebiasaan sembrono mu itu lho" ucap nenek terdengar khawatir.