Apa yang bisa kulakukan untuk menutupi kesedihan ini? Tidak ada!. Aku hanya mencoba kuat untuk menahan tangis, tak ingin aku ada air mata yang jatuh. Tetapi, mau tak mau pertahanan yang aku bangun harus jebol. Tangisan yang aku tumpahkan harus berakhir saat kegiatan ku kembali seperti semula, aku harus bisa profesional untuk urusan ini.
" Kau habis nangis??" Tanya salah satu temanku.
" Nggak, aku kurang tidur" jawabku.
" Ok.... Aku percaya kok" ucapnya jelas tak percaya, aku bukan pembohong yang baik bahkan orang asing saja tahu kalau aku tengah berbohong.
Selesai dengan semua carut-marut hari ini, aku memutuskan langsung pulang. Aku tak ingin ada obrolan dengan beberapa temanku disini. Hari ini terasa hambar, maka aku segera membakar sebatang rokok dan menikmati di dalam toilet. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangisi setiap kesialan yang aku hadapi.
" Kenapa kau!" Ucap Diana membuka paksa pintu.
Aku hanya menggeleng.
" Keluar!" Diana menyeret kukeluar, berganti ia yang masuk. " Lanjutkan tangismu kalau aku sudah selesai!" Ucapnya.
Aku menghela nafas lalu masuk kamar untuk melanjutkan tangis, kurasa aku akan punya hobi baru. Apa lagi kalau bukan menangis sampai lelah dan tertidur.
******
Janji suci terucap dari mulutnya, kehidupan kami sudah berbeda 180°. Sakit hati? Tentu saja, rasa sakit ku sudah dalam tahap ingin menghancurkan segalanya termasuk pesta pernikahan ini.
" Kak Ness"
Cukup terkejut saat Mamed ada tepat di sampingku, duduk dengan pakaian terbaik. Entah sudah berapa lama aku termenung melamun menatap layar ponsel.
" selamat ya... Kau sudah jadi dewasa" kataku sekuat mungkin menghadapi kenyataan pahit ini sembari membetulkan jas yang ia kenakan walaupun sudah rapi.
" Kak Ness..."
" entah butuh berapa lama buatku agar bisa sepertimu, jaga istrimu sebaik baiknya ya..." Ucapku beranjak, sudah tak tahan aku dengan situasi konyol ini.