Sialan lu Med!!

Firmansyah Slamet
Chapter #55

Part 45


Kosong sepi, itulah yang mungkin Mamed rasakan setiap membuka mata di pagi hari. membuka ingatan, melayang mundur beberapa langkah, mendapati dirinya sendiri mengingat kepergiannya. Tatap lekat matanya pada bingkai seolah mengajaknya berbicara. anehnya ia akan menatap balik bingkai beberapa saat. Mengajak berbincang tentang cuaca hari ini, bertukar tawa dengan pertanyaan bodoh dan tak masuk akal seolah bingkai akan menjawab dan bertukar perbincangan.

Tapi ia harus menyadari bahwa bingkai itu tak akan menjawab segala ocehannya. Istrinya sudah pergi, dan hidupnya? Penuh kekosongan. Bisa kalian bayangkan seseorang yang mengisi hari hari, seseorang yang sudah menjadi bagian hidup tiba-tiba menghilang begitu saja, membiarkan kalian sendiri dengan kerinduan tak terkira …?

Itulah yang Mamed rasakan sekarang, semakin dia menikmati itu maka semakin sakit pula yang ia rasakan. Beberapa kali kucoba untuk sekedar menghiburnya, respon yang baik aku dapatkan tapi sorot matanya tetaplah kosong. Ia bukanlah seorang pria yang ku kenal seperti biasanya, ia berbeda! Mungkin untuk hari ini dan seterusnya.


" Tenang ya... Aku akan selalu ada untukmu seperti dulu" kataku memeluknya dan membelai lembut rambutnya.


" Maafkan aku kak Ness, aku gak bisa jaga mbak Firda" ucap Mamed mulai tersedu, aku berharap ia mau menumpahkan tangisnya daripada menahannya di depanku. Kejujuran yang aku tunggu harus kudapat hari ini juga


" Ini takdir, kamu harus kuat..."


" Enggak"


" Tatap mataku " ucapku yang ia turuti dengan tatapan kosong," kau adalah orang terkuat yang pernah ku kenal" ucapku bersungguh-sungguh.


Bibirnya mulai bergetar, tangisnya mulai pecah dan aku rela berbagi kesedihan Ini.


" Tolong... Tolong aku, Kak Ness" air matanya mulai menetes.






******








Sudah satu Minggu setelah kepergian istrinya, Mamed tak keluar kamar sama sekali. Ia hanya membiarkan dirinya membusuk dengan bermain bayang-bayang harapan indahnya hidup seandainya istrinya masih ada. Ia juga selalu meyakinkan dirinya bahwa istrinya tidak meninggalkannya, tetapi kenyataannya memang sedemikian menyedihkan. Ia tak bisa terus hidup dalam suasana sedih. Ia harus keluar dan itu cukup membuatku kaget ketika ia datang menjemputku tepat di depan rumah sakit.


" Kau baik-baik aja??" Tanyaku heran. Mungkin ia memang harus keluar dari rumah.


" Aku lelah Kak Ness, aku cuma mau keluar rumah" kata Mamed membuka pintu mobil untukku.


Kemudian ia memutar dan segera duduk di balik kemudi. Masih kulihat dengan jelas kalau ia masih bersedih. Sorot matanya tak bisa membohongi apa yang tengah dirasakannya.


" Mau makan dulu?"


" Enggak, aku masak saja" ucapku tanpa berpikir.


Ponsel berdering tanda ada urusan yang belum selesai atau urusan darurat buatku. Mamed kembali memasukkan mobil ke area parkir rumah sakit. Sebenarnya tak ada yang darurat, hanya ada barang yang tertinggal.


" Aku tunggu kok, Kak Ness …," ujarnya.


"Gak lama kok," balasku


"Santai aja," jawabnya tersenyum.


Kupandangnya dengan dalam, " kau gak apa-apa, kan?"


"Maksudnya? Aku gak gimana gimana, nih, aku senyum." Jawabnya dengan mata berkaca-kaca.


Aku benci jika seperti ini situasinya, ia menganggap kuat dalam segala situasi dan kondisi. Pada kenyataannya malah berbanding terbalik. Aku rela berbagi kesedihan, tapi ia yang tak mau hal itu terjadi. Entah bagaimana cara membuatnya mempercayai kalau aku rela berbagi kesedihan.


"Mata mu gak bisa bohong …."


Sejenak ia ingin kembali menangis.

Lihat selengkapnya