Ada harga mahal yang harus Mamed bayar demi bisa bersamaku. Bukan perkara keyakinan kami, tetapi perkara peninggalan dan keluarga besarnya.
" Jangan harap kamu masih jadi bagian keluarga ini kalau masih berhubungan dengan wanita kafir ini!" Tunjuk mereka padaku.
Aku masih belum biasa menghadapi orang semacam ini, entah karena trauma atau aku yang selalu mencoba menghindar dari situasi semacam ini.
" TUTUP MULUTMU!" ucap Mamed dengan nada tinggi, tak pernah setinggi ini hingga aku juga takut dibuatnya.
" Kalau kau masih bersikeras, silakan pergi"
" Ini rumahku! Rumah ibuku, ibuku yang membangun rumah ini"
" Tidak! Kau cuma anaknya yang gak berguna! Dan adikku mati dibunuh wanita kafir itu!" Ucapan frontal keluarga besarnya.
Hal itu malah memperkeruh suasana, " ANJING!!" Mamed membalikkan meja hingga kaca pecah!.
" Silakan keluar!"
Mamed segera mengambil barang miliknya, juga mendiang istrinya. Kemarahan tampak jelas dan tak perlu dipertanyakan!. Suasana mendung mulai terlihat gelap.
" Siapapun itu! Siapapun yang mengusirku dari Rumah ini... Aku kutuk mereka! Aku kutuk siapapun itu!!" Ucapnya sambil meludah di tanah ini.
Rintik hujan mulai turun.
" Pergilah kau! Kalau kau mau putuskan hubunganmu dengan kafir itu... Aku akan memaafkan mu dan kau boleh kembali" ucap mereka.
" GAK AKAN PERNAH! BANGSAT!!"
********
" Jangan tinggalkan aku, Kak Ness " ucapnya saat kami sudah berada didepan rumahku, ia menahan agar aku tak segera keluar dari mobilnya.
Mataku menatapnya dengan lekat, pikiranku benar-benar kosong. Apa yang harus aku lakukan? Aku memilih masuk rumah, meninggalkannya agar bisa menenangkan diri. Drama sinetron kulihat dengan mata kepala.
" Ada apa Rissa??" Tanya mama.
" Entahlah ma... Aku gak tahu" jawabku.
Aku mulai menyadari, ucapan kafir membuatku syok. Bertahun-tahun aku tak mengalami trauma ini, dan kini malah kembali muncul dengan frontal.
" Ada apa, cerita sama mama" kata mama, " siapa yang buat kamu nangis lagi?"