Seandainya pernah kenal dan hidup bersama Mamed adalah sebuah mimpi, maka aku yakin itu adalah mimpi paling indah yang pernah aku temui dihidupku, Kadang aku berharap tidak akan pernah terjaga dari mimpi indah ini. Tetapi aku tahu, semua hal di dunia ini ada masanya. Bukankah ketika kita memulai sesuatu, justru sebenarnya kita sedang maju satu langkah untuk mengakhirinya?. Waktu hanya sebuah pilihan dari Tuhan untuk manusia. Ada yang bisa menggunakannya dengan bijak, tetapi banyak juga yang sebaliknya. Satu yang pasti, waktu tak akan pernah berputar mundur, meski hanya sedetik. Dan seharusnya aku lebih bisa menerima apa yang sudah jadi pilihan. Tapi kadang hati kecil ini seperti tak mau berhenti merongrong untuk terus menyesalinya.
Airmata yang pernah aku teteskan untuk seorang Mamed, adalah bukti betapa sebenarnya aku belum sanggup mengosongkan sebelah hati yang selama hampir 15 tahun ini terisi oleh sosoknya. Aku sudah sangat terbiasa mendengarkan celotehannya. Telingaku sudah jebol saat mendengar nyanyian dari suara sumbangnya. Maka sangat aneh rasanya ketika pagi-pagi aku terjaga dan mendapati kamar begitu sepi. Bukan hanya kamar, tetapi jauh dalam hati aku merasakan kekosongan yang menyakitkan. Kekosongan yang hanya akan terobati dengan kehadirannya di sisiku.
Aku rindu ucapan selamat pagi yang khas dari Mamed. Aku rindu tingkah usilnya saat tak ada kerjaan. Aku rindu tatapan matanya. Aku rindu semua hal yang ada pada dirinya...
Tidak pernah ada yang bisa mengendalikan waktu. Di satu waktu kadang aku merasa waktu sangat lambat berjalan, menahan lebih lama dari yang semestinya. Tapi di lain hari, seperti yang aku rasakan hari ini, waktu sangat cepat berlalu meninggalkan hari kemarin. Yang tersisa hari ini, hanya serpihan kenangan yang tertinggal dalam hati, atau bahkan terlupakan begitu saja.
Hampir 15 tahun sudah aku menyimpan semua tentang Mamed di hati. Semakin hari matahari bersinar semakin indah menerpa tiap memori. Sinarnya hangat, menyemai benih-benih yang tumbuh dalam hati. Aku... Sudah dalam tahap tidak bisa dipungkiri lagi... rasa sayangku padanya tercipta begitu dalam. Menembus semua batas-batas perbedaan diantara kami. Bukan, bukan rupawan yang memang sangat mengganggu ketenangan hati. tapi kebersamaan kami yang membuatku seolah memilikinya hidup dan mati. Rasa yang seharusnya tak boleh terlalu melenakan. Dan pada akhirnya aku juga sadar, tak ada yang abadi di dunia. Semua yang bernyawa akan mati. Dan semua pertemuan akan mengalami perpisahan. Adalah Mamed yang menyadarkanku akan hal itu.
" Rena"
Dia hanya menatapku.
" Datanglah ke pernikahanku" ucapku.
" Dengan senang hati" balasnya.
" Dan selamat, kau menang dariku... Dan berjanjilah padaku, tolong kau jaga dan buatlah Mamed selalu tersenyum bahagia"
" Tak perlu aku berjanji" ucapnya penuh dengan kesombongan, " aku tahu cara menjadi wanita yang baik"
" Tolong, berikan undangan untuk Mamed... Nomornya gak aktif"
" Dia di Australia " jawab Rena.
" Apa?"
" Kau gak budek kan? Lebih baik kau pergi dari sini" usir Rena.
Kini Rena mengambil alih bengkelnya, tentu saja untuk membantu saat Mamed tak berada disini.