" Sayang, bagaimana harimu??"
" Seperti biasa, Pasien nakal akan kusuntik!" Jawabku dengan tawaan jahat, " kau sendiri?"
" Aku habis gantung orang di lift mobil" jawabnya.
Tawaan jahat kami hanya sebatas candaan setelah lelah bekerja seharian ini.
Mamed masih membersihkan tangan kotornya, mulutnya juga tak berhenti mengeluarkan sekedar candaan tak bermoral.
" Ayo pulang" ucapku agar ia segera menutup bengkelnya.
Mata indahnya terkunci pada jalanan yang cukup lenggang, tiba-tiba aku ingin merasakan adrenalin saat ia menginjak pedal gas secara penuh dan membuat mobil menari-nari membakar ban di jalanan berliku-liku ini.
" Bisa lebih cepat?" Tanyaku.
" Tak perlu" jawabnya, " kita punya banyak waktu luang"
Selalu saja ia terlihat keren saat dalam posisi mengemudi dan aku suka itu. Padahal aku yang mengajarinya mengemudi saat ia baru saja naik kelas dua SMP, Tapi kini keterampilannya jauh melampauiku.
" Aku mau merasa tegang" ucapku.
" Baiklah kalau kau memaksa"
Tangan dan kakinya sangat cepat untuk sekedar memaksa mesin untuk Meraung lebih tinggi. Mobil berhasil menari dan bau karet terbakar tercium menyeruak masuk hidung. Jika saja ada yang melihat dan mengajak berlomba sudah pasti Mamed akan menang dengan mudah. Tapi aku tak akan suka mengingat resiko terlalu besar untuk dihadapi. Aku tak mau ia harus berkorban nyawa demi kesenangan sesaat.
Cincin pernikahan kami menjadi saksi aku tak akan lagi melepasnya dengan keputusan konyol. Ia menjadi suami dan masa depanku hingga kami dipisahkan maut. Waktu yang ia ciptakan untukku sangat amat kuhargai walau hanya sekejap mata. Bukan rupawan itu, melainkan kebersamaan ini yang membuat ku memiliknya hidup dan mati. Tapi semua ada batasnya, dan mamed juga yang mengingatkanku hal konyol itu. Batas! Batas yang memang menjadi hal tak boleh dilanggar.
" Aku cinta padamu" ucapku yang Mamed jawab dengan senyum indahnya.
Kupandangi setelan jas biru ini. Harusnya Mamed mengenakan jas itu dan menjadi suamiku sekarang. Imajinasi liar mulai merajai pikiran bodohku, kenapa bisa aku melepasnya dengan sangat konyol. Apa yang salah denganku sebenarnya?.
Kini aku harus kehilangan Mamed untuk ketiga kalinya. Setelah kehilangan dirinya untuk kedua kalinya saat aku menikah. Inilah saat ketiga kalinya aku kehilangan Mamed dalam acara pernikahannya dengan Rena. Aku gagal untuk kembali merebutnya walau statusku sudah menikah.
Aku gagal!.
Aku menyudahi lamunan bayangan tentang indahnya harapan hidup, aku harus memenuhi undangan dari Rena guna menyaksikan kegagalanku untuk yang kesekian kalinya.
Dan saat janji suci terucap dari mulut Mamed. Kegagalan resmi kusandang dan kegagalan juga berhak menghina hingga puas. Kini aku berhutang maaf dan terima kasih padanya atas 15 tahun ini. Setidaknya kali ini harus terucap langsung dari mulutku.
" hai, selamat ya" ucapku setelah bisa mendekat pada Mamed.