Sialang dan Kubu Terakhir

Eko S. Ayata
Chapter #1

Piagam Tanah Garo

Fajar menyingsing di salah satu kaki lembah bukit 12. Malam yang panjang dan mencengkam telah usai bagi sebagian penghuni hutan. Sebagian lagi masih memperjuangkan takdir mereka, berjibaku memutus geliat rantai makanan. Membunuh atau terbunuh. Aroma permusuhan begitu kentara, bahkan melekat kuat pada masing-masing koloni. Dan malam menjadi arena pertempuran mereka. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Yang lemah harus mencari cara agar generasinya tetap ada. Begitulah hukum rimba di hutan dataran rendah Jambi.

***

Alam liar, tapi tak begitu liar setelah menjadi Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Atau sejenisnya, seperti Taman Nasional atau Taman Wisata Alam (TWA). Jauh sebelum itu, dalam sebuah piagam, di ceritakan seorang Bujang[1] Perantau dari Pagaruyung. Dia hidup sendirian di dalam hutan belantara dan tinggal di sebuah pondok, tempatnya bernaung. Suatu ketika dia hendak menebas semak-semak belukar, samar-samar terdengar suara perempuan berbicara,

Bebonor, kalau awak kekapo,”[2] ujarnya.

Awalnya Bujang Perantau tidak menghiraukan, dan menganggap suara itu hanya perasaannya saja. Dia pun kembali bekerja. Hanya saja suara tersebut terus menerus terdengar di telinganya. Karena penasaran, dia berusaha mencari sumber suara tersebut dan mengarahkannya pada sebuah kelumpang[3] yang terpisah dari tumpukan buah kelumpang yang dikumpulkannya. Dia semakin heran lalu memutuskan untuk pulang kepondoknya.

Lihat selengkapnya