“Kalian semua payah. Kelak akulah calon tumenggung[1],” olok Jelikat pongah. Lagi-lagi dia mendahului anak rimba lainnya dalam hal berayun dari akar pohon satu ke akar pohon lainnya.
”Jangan senang dulu. Masih ada aku pesaing terberatmu,” sahut Garanca begitu bersemangat meski mata masih agak sembab.
Pagi itu sekeliling hutan masih tampak berkabut. Sisa embun masih membercak di dedaunan. Hampir semalaman suntuk hutan tropis dataran rendah Jambi diguyur hujan. Bak tanaman raksasa yang disiram air bah. Momen langka seperti itu tentu sangat dimanfaatkan oleh sekumpulan anak rimba kawasan Sungai Air Hitam.
Menjejaki setiap jengkal demi jengkal tanahnya, dan bergelantungan di udara yang masih bersuhu tiga puluh derajat celcius. Mereka bersuka cita layaknya burung-burung yang berkicauan dari pohon satu ke pohon lainnya.
”Hehehe. Jangan lupakan aku juga. Kecuali dia yang berada belakang.” Tidak ketinggalan Sema juga ikut bersuara sambil terkekeh.
”Iya, mending kau pulang saja, Lang! Jaga Sirro baik-baik!” teriak Garanca berusaha menjatuhkan mentalnya.
”Ayo, Lang bangun! Jika tidak, Mereka terus akan meledekmu.” Jarai berusaha menyemangati. Tapi Sialang masih berjibaku usai beberapa kali terjatuh.
Di antara mereka berempat, hanya Jarailah yang paling bersimpati. Bersama Sirro—anjing kecil kesayangannya. Mereka berusaha mengejar ketiganya yang sudah jauh berada di depan.
Tidak terhitung beberapa kali gaya gravitasi menariknya jatuh dari atas ketinggian, tapi Sialang tetap bangkit. Tidak peduli seberapa sering teman-temannya meledeknya, dia tetap semangat mengejar ketiganya.
Jatuh itu hanya menyisahkan sakit sementara. Jika kau tidak bangkit, maka lukanya akan menganga selamanya.
Sialang teringat nasehat Sindra. Kemudian terus berlari meraih akar pohon untuk mulai berayun lagi.
Meski sudah sedari kecil diajak berburu oleh ayahnya, diajari meramu oleh Sindra, namun teman-temannya tetap menganggapnya seorang pecundang. Meski sesumbar ingin meneruskan jejak ayahnya sebagai seorang tumenggung, Sialang kecil masih dianggap lemah dalam berburu dan meramu.
Perjalanan mereka jelas masih panjang. Tapi dalam hukum rimba, siapa yang kuat dan ahli berburulah yang kelak akan menjadi penguasa rimba sepenuhnya. Dan pesaing Sialang bukanlah sembarang anak rimba. Baik Jelikat, Garanca dan Sema. Selain sudah dipersiapkan oleh kedua orang tuanya cara bertahan di hutan, mereka juga memiliki keahlian berburu diatas rata-rata, di usia yang masih belia. Kecuali Jarai yang sama sekali tidak berambisi. Perut gembulnya bisa terisi makanan setiap hari sudah cukup membuatnya bahagia.
Hutan ini menjadi saksinya. Telah banyak mengajari mereka, menjadi potret dari setiap perkembangan fisik sekaligus keahlian berburu mereka. Hutan yang luas ditumbuhi pohon-pohon besar dengan dahan yang lebar, layaknya sebuah kanopi raksasa yang memayungi kehidupan dibawahnya. Akar-akar pohon yang menjuntai, seolah mengulurkan tangan untuk terus mengajak mereka berayun dari setiap belukar.
Kedatangan mereka seolah membuat gerah dan mengganggu kenyamanan bagi setiap hewan yang sedang mencari makan. Keusilan yang dihadirkan kadangkala melebihi keganasan predator saat memburu rantai makanannya. Bahkan seekor ular yang tengah tertidur, melilitkan badannya di dahan pohon tidak urung menjadi korban kejahilan. Setelah itu, ular pun terjatuh, lalu mereka pergi meninggalkannya.
Begitulah keseruan mereka saat sudah bermain di tengah rimba. Tawa-tawa kebahagiaan itu pecah dan seolah sudah menyesakkan rimba. Mendominasi, bahkan tidak jarang Jelikat, Garanca dan Sema tidak pernah berhenti mengintimidasi tonuk[2] yang sedang lewat dengan cara mengejarnya hingga keatas perbukitan. Mereka tidak sedang berburu atau ingin menangkapnya, hanya sekadar bermain-main dengan beberapa penghuni hutan.
Sesampainya di atas bukit, saat tonuk itu terjepit, mereka langsung menangkapnya untuk kemudian dilepaskan lagi. Lalu setelah itu mereka berlima tidak urung mentasbihkan keberanian masing-masing. Yaitu dengan cara menjatuhkan diri kebawah lembah yang sedang menengadah. Dimana sudah mengalir anak Sungai Batanghari yang terlihat seperti titian garis berkelok di bawahnya. Sungai itu diapit dua bukit yang terjal. Menambah kesan seram bagi siapa saja yang menatapnya.
Tapi bagi mereka, selain menjadikan sungai sebagai sumber air minum dan kebutuhan mandi. Sungai ibarat pemandu untuk menentukan arah perjalanan atau lokasi menetap orang rimba. Karena mereka sudah terlalu jauh meninggalkan pemukiman. Mengikuti anak sungai adalah cara termudah untuk kembali kepemukiman.
Celebuk!
Satu per satu mulai menjatuhkan diri. Suaranya persis ibarat batu yang jatuh ke sungai. Sangat menggelegar dan membuat ombak besar.
”Ayo, Lang! Kau pasti bisa!” teriak Jarai yang sudah menungguhnya di bawah.
”Jika kau tidak berani terjun juga, maka jangan salahkan kami jika memanggilmu Sialang penakut,” ledek Jelikat yang langsung disambut gelak tawa Sema dan Garanca yang mengambang di tengah arus sungai yang deras.
Bukannya termotivasi oleh teriakan teman-temannya dibawah, Sialang malah mematung di atas bukit. Sambil mendongak ke angkasa, dia sangat fokus memandangi langit, ke arah sekumpulan burung-burung yang beterbangan seperti hendak bermigrasi. Dia tidak tahu, kemana burung-burung itu hendak pergi. Yang dia tahu, jika itu pertanda buruk bagi komunitasnya. Lalu seketika dia mengalihkan pandangannya ke sekeliling rimba tidak bertepi. Landscape[3] hutan yang menghijau, samar-samar terdengar suara lolongan gajah tidak biasanya. Hatinya terbang, pikirannya pun melayang. Namun Sirro terus merongrongnya.
Sesekali Sialang melihat kebawah, melupakan sejenak keanehan yang baru saja dilihatnya. Namun perasaan takut tetap menguasainya. Dia menyerah dan ingin mengaku kalah kepada teman-temannya. Tapi gigitan kecil Sirro merubah takdirnya. Tidak sengaja tubuhnya jatuh tanpa ancang-ancang sebelumnya. Entah karena ketakutan atau menahan rasa sakit karena digigit Sirro, teriakannya lantang dengan mata terpejam. Dia jatuh dengan penuh kepasrahan.