Matahari sudah menampakan wujudnya. Semua terlihat sibuk, bahkan terlihat ingar. Bu Karib tengah merebus makanan, begitupun dengan perempuan-perempuan rimba lain yang tidak kalah cekatan. Mereka tampak bersemangat mengurusi para suami yang seperti hendak bersiap ke medan perang. Sedangkan para lelakinya fokus menajamkan kujur-kujur dan benda tajam sejenisnya. Setelah itu Pak Karib langsung mengambil alih kegiatan. Dengan suara lantang, dia langsung mengumpulkan semua lelaki rimba tanpa terkecuali.
Salah satunya Sialang yang mengubah momen serius menjadi ringan. Sekonyong-konyong dia langsung masuk ke dalam barisan, dan membuat semua orang tertawa.
“Mau ke mana lagi kau, Lang?” tanya pemimpin orang rimba dingin.
Sialang belum sadar, jika ayahnya masih mengkhawatirkan kondisinya usai terseret arus kemarin. Tapi bisa jadi, ayahnya juga sedang marah karena dia nekat mengikuti mereka mengambil madu tempo hari. Tapi raut lelaki rentah tersebut jelas, jika tidak menginginkannya berada ditengah-tengah mereka.
Ya, saat ini mereka tengah bersiap untuk melakukan perburuan. Kondisi yang lebih berbahaya ketimbang rutinitas mengambil madu. Dan ternyata, tidak hanya Sialang saja yang berniat bergabung. Para teman-temannya juga merengek ingin mintak diajak berburu.
“Kalian di rumah saja! Jaga ibu-ibu kalian!” perintah Pak Karib. “Ayo semua kita bersiap-siap!” serunya memberi komando.
Sontak semua lelaki rimba langsung membuat parade perburuan tersebut.
“Tapi, Pak. Aku ingin belajar berburu,” kata Sialang sambil meraih tangan ayahnya.
“Kau hampir celaka, karena berani melanggar pantang ke sungai itu. Masih untung ada abangmu? Kalau tidak, mungkin kau sudah bersama dewo-dewo[1] di sana.” Pak Karib menatap nanar. Karena alasan kejadian itu, kali ini dia agak tegas mencegah Sialang bepergian.
Sialang tidak berkutik dan hanya menyaksikan keberangkatan rombongan dari bilik rumah yang semakin jauh dan menyisahkan titik hitam yang hilang di telan rimba. Dia lalu berbalik menghadap kujur kecilnya.
“Ambil kujur[2] itu.” Suara seseorang merangsek dari arah belakang.
Sialang memandangi dengan lekat. “Tapi, Bang ….” Dia seolah tidak percaya maksud dari abangnya.
“Sudah. Mau ikut berburu, tidak?” Sindra menyalak dengan mata yang terbelalak. Saudara sulung Sialang itu notabenenya sangat dingin. Tapi seperti biasa, dia berusaha menunjukan perhatiannya di balik sikap dingin kepada adiknya. Meski ketus, tapi sebenarnya dia sangat peduli dan selalu siap membela Sialang, jika tengah dihukum ayahnya. Terlihat dari usahanya membela Sialang dan teman-temannya saat kepergok membuntuti mereka mengambil madu. Selain itu dia juga sangat diandalkan dalam hal berburu dan juga mahir dalam hal pengobatan. Tidak jarang usai berburu, orang-orang langsung mendatanginya; entah itu untuk mengobati bekas luka bekas cakaran hewan buas atau sekadar dibuatkan ramuan alam untuk mengembalikan stamina tubuh yang terkuras.
Semua bisa dia lakukan. Oleh karenanya dia juga di plot cikal bakal calon penerus tahta ayahnya yang juga seorang tumenggung dalam kelompok mereka. “Berburu itu jati diri lelaki rimba. Jika kau tidak pandai berburu, maka kelak kau tidak akan menjadi lelaki sejati. Dan wanita mana yang mau dengan lelaki seperti itu,” ujar Sindra menasihati adiknya sambil berlari mengajar rombongan bersama adiknya. “larimu agak dipercepat, Lang. Kita sudah tertinggal jauh,” perintahnya. Meski kondisi tubuh belum prima,tapi Sialang tampak bersemangat.
Untungnya mereka bisa mengejar langkah orang rimba lainnya, sehingga dapat mendekati lokasi perburuan. Keduanya tidak ketinggalan dalam proses pengaturan rencana. Pak Karib sempat kaget melihat kehadiran Sialang, tapi Sindra sigap mendatanginya. Seolah sudah memahami, Pak Karib hanya berbisik kepada Sindra ”Jika terjadi sesuatu dengan adikmu, kau yang harus tanggung jawab!” ujarnya lalu melanjutkan instruksinya. Sebelum memulai mencari hewan buruan, bersamaan dengan itu, insting hewan menggonggong mendadak berubah drastis. Sirro Bergegas berlari dan langsung masuk ke dalam belantara, seperti mencium hewan buruannya. Sementara Pak Karib beserta orang rimba lainnya langsung mengekor pergerakan Sirro.
“Betul. Itu napu Tumenggung,” ucap salah seorang.
“Ayo kejar terus! Tangkap napu-nya!” Pak Karib langsung memberi aba-aba. Sebagai pemimpin perburuan, dia paham betul pergerakan hewan hutan yang akan menjadi mangsa untuk dijadikan bahan makanan mereka.
Meski sudah bersiap siaga untuk menyergap, tapi mereka kalah cepat. Napu yang sudah tercium oleh Sirro pergerakannya, bergerak lebih lincah dari biasanya. Namun mereka tidak putus asa dan terus mengejar hewan mamalia tersebut yang berlari menuju ke sebuah lubang kecil.
Sirro terus mendengking-dengking terhadap target buruannya. Merasa target sudah terperangkap, mereka pun langsung menggali lubang tersebut, berharap lubangnya buntu hingga napu itu terjebak di dalamnya. Namun sayang, prediksi mereka salah. Lubang itu tidak buntu. Napu itu pun langsung keluar dari lubang tersebut dan menghilang ditelan belukar.