Awan mendung itu masih menggelayuti hati mereka. Hampir seluruh penghuni rumah godong ikut berbela sungkawa kepada keluarga Pak Karib atas kejadian yang tidak pernah mereka kira sebelumnya. Sindra yang sudah mengalami perawatan terbaik dari Pak Karib, harus meninggal di pangkuannya. Bahkan, citra dan nama besar dukun setempat juga tidak bisa menyelamatkan nyawa Sindra. Seluruh pengobatan telah usahakan, namun Sindra harus meninggal sebagai seorang pahlawan. Semua ritual dukun pun juga sudah dilaksanakan, tapi juga tidak mendapat kesembuhan.
Keberadaan dukun sebagai tenaga medis di komunitas orang rimba, tidak hanya sebagai penyembuh layaknya pekerjaan seorang dokter di rumah sakit. Selain mengharap kesembuhan, ini juga merupakan upaya terakhir dari mereka untuk mendapat perawatan insentif dari dukun yang dianggap lebih berperan atas masalah pelik ini. Posisi dan kedudukan sosial seorang dukun yang tinggi dalam tatanan kehidupan orang rimba mendapat tempat khusus dihati mereka. Selain dianggap suci dan bisa berhubungan dengan dewa-dewa melalui suatu ritual. Keberadaannya juga pertanda sebuah harapan. Namun, apapun keputusan dan hasil yang didapat dari dukun biasanya orang rimba akan mendapat kepuasan tersendiri dan ikhlas menerimanya.
Dan kasus Sindra begitu berbeda dari orang rimba kebanyakan yang meninggal karena wabah penyakit. Sang dukun tidak terlalu bisa berperan banyak terhadap kesembuhan Sindra. Selain karena sudah banyak kehabisan darah, kejadian yang menimpa Sindra murni karena keganasan seekor hewan. Meski nyawanya tidak tersalamatkan, namun kisah heroiknya melawan hewan yang paling ditakuti di ingatan masing-masing orang rimba menjadi lembar sejarah yang sulit dilupakan oleh komunitas mereka. Sindra yang gagah berani itu kini hanya seonggok mayat yang sedang tergeletak. Dia mengalami pendarahan hebat bekas cabikan-cabikan si moncong kuning. Tapi darah perlawanan tersebut, akan terus mengalir di tubuh para penerus-penerus generasi setelahnya.
Bukan pertama kali saja hewan buas tersebut memakan korban. Hampir sebagian warga rimba pernah menjumpai bahkan tidak jarang terlibat baku hantam dengan hewan tinggi besar yang berbulu saat mereka tengah berburu. Namun, kematian Sindra yang pertama dikenang warga. Ini karena keberanian dan kemahiran berburunya yang jarang dimilliki yang lain. Hingga semua warga sangat berduka menjelang acara bebalai[1]. Mereka begitu kehilangan, sama seperti keluarga Pak Karib.
Semua proses menuju upacara bebalai hampir sempurna. Mulai dari berpuasa dan hanya memakan buah-buah dari hutan. Setiap warga wajib mandi di sungai untuk membersihkan diri, hingga pantangan memakan makanan yang dinilai akan menghilangkan kesucian acara bebalai. Seperti memakan daging binatang buruan, hingga memakan daging binatang lainnya juga dilarang oleh Pak Karib. Bahkan hasil buruan mereka yang berlimpah ruah kemarin sengaja dipersembahkan kepada dewa. Ini dilakukan agar dewa sudi mengangkat penyakit Sindra dan membuatnya tubuhnya pulih seperti sedia kala. Namun ternyata dewa lebih sayang pada Sindra. Dan mereka percaya dewa telah mempersiapkan tempat terbaik bagi Sindra.
Diantara keluarga dan para komunitas orang rimba, hanya Sialang yang paling terpukul atas kepergian Sindra. Baginya, sosok Sindra lebih dari sekadar seorang kakak. Masih segar di ingatannya, setiap kali Sindra mengajaknya pergi berburu. Dari Sindra dia juga dia belajar banyak hal tentang adat-istiadat rimba. Bahkan di ujung usianya Sindra sempat berpesan, agar dia kelak bisa menjaga rimba ini sebaik mungkin. Menjadi pengayom dari seluruh warga rimba dan menjadi tumenggung yang bijaksana dalam memutus perkara.
“Bang, disuruh Bepak pulang. Upacara pemakaman Abang Sindra akan segera dilangsungkan.” Suara mungil itu memecah lamunan Sialang.
Di bawah pohon sialang, di atas ayunan dua tali yang diam, Sialang menyendiri. Kali ini suara adiknya yang kerap kali menghiburnya, tidak mampu mengusap kesedihannya.