Sialang dan Kubu Terakhir

Eko S. Ayata
Chapter #5

Melangun

Permasalahan belum selesai. Usai Sindra dimakamkan, kisruh antara warga lainnya dan Pak Karib semakin meruncing. Pak Karib yang mempunyai kepercayaan tentang melangun[1] mendapat pertentangan dari beberapa kelompok orang rimba lainnya. Tidak terkecuali seorang waris—Pak Muso beserta para pengikutnya. Mereka mengharapkan jika Pak Karib tetap berada tempat tersebut dan tidak melakukan melangun. Bukan tanpa alasan, mereka beranggapan jika kematian Sindra adalah kematian yang terhormat. Tidak pantas jika ditabuhkan kesedihan yang berlarut-larut hingga harus melangun.

“Harusnya Pak Karib bangga atas kematian Sindra. Dia mati dalam keadaan baik, bukan mati dalam keadaan sakit atau wabah yang menular,” ucap Pak Muso selaku waris, yang perkataannya juga sangat berpengaruh bagi warga orang rimba setelah tumenggung. “Jika kalian pergi semua, siapa yang akan mengurus lahan ini dan siapa nantinya yang akan membawa hasil hutan untuk dijual kepada orang terang[2]?” sambungnya.

“Kami bisa bercocok tanam lagi di tempat yang baru. Lagi pula kematian Shura sudah cukup untuk menutup rapat pintu bagi orang terang untuk masuk ke rimba ini,” jawab Pak Karib sinis. Dia juga tidak sungkan untuk mengungkit-ungkit soal kematian Shura yang notabenenya sudah lama meninggal sebelum Sindra. Seolah semakin menampakan hubungan yang tidak harmonis antara Pak Karib dengan beberapa orang rimba lainnya. Tapi dia sadar, jika kondisi saat ini sedang tidak kondusif. Ditambah dengan kematian Sindra yang mengejutkan, sehingga membuatnya agak kalut dan sedikit emosional.

“Terus pohon sialang bagaimana, kalau kita pergi, Pak?” tanya Bu Karib menyela ketegangan mereka. Seolah masih bingung dengan keputusan suaminya yang tampak sepihak tanpa mengajaknya berbicara sebelumnya.

“Bagaimanapun kesulitan yang bakal kita hadapi, melangun tetap harus dilakukan. Percayalah, ini hanya untuk mengurangi kesedihan kita kepada Sindra,” jelas Pak Karib sambil menepuk kedua bahu istrinya dengan pandangan menghujam. Dia berusaha meyakinkan, jika keadaan mereka baik-baik saja. Dia membelai kepala istrinya dan merangkul kedua anaknya yang tersisa.

Tapi tidak dengan beberapa warga lainnya. Mereka tegas menolak ajakan Pak Karib dan memilih untuk tidak meninggalkan lahan tersebut. Karena bagi mereka, lahan yang sedang didiami itu masih sangat subur dan menghasilkan jika harus ditinggalkan. Sedangkan alasan lainnya, lebih kepada persetujuan dengan pendapat Pak Sumo yang juga dianggap bisa memutus perkara dan paham akan adat leluhur mereka selain Pak Karib. Kondisi ini jelas memicu sedikit perdebatan di antara orang rimba.

“Tidak usah bahas Shura lagi. Karena kematiannya sudah jelas dari sakit yang dia derita, bukan dari virus yang dituduhkan itu,” sergah Bedira. Kali ini dia juga terlihat ingin bersuara soal kematian Shura. Kendati pemuda rimba tersebut sebelumnya sangat dekat dengan Sindra sebelum kematiannya, tapi di akhir-akhir hayat Sindra, mereka tidak jarang sering bersilang pendapat. Bahkan Bedira juga tidak sungkan untuk mendikte setiap kebijakan yang dihasilkan Pak Karib yang dirasanya sangat tidak adil. “Lagian, apa pentingnya Shura bagi warga rimba dibanding aku yang berjuang sendiri melawan kematian. Semua itu karena ulahmu, Tumenggung. Apa kamu masih ingat?” sindirnya. “Tapi sudahlah. Lupakan peristiwa itu. Jika kalian tetap ingin pergi, pergi saja. Dan seluruh ladang ini akan menjadi milik kami sekarang,” ucapnya sedikit berani. Meski begitu, suaranya juga mendapat dukungan penuh dari beberapa kelompok yang juga menolak melangun bersama Pak Karib. Termasuk Pak Sumo. “Dan sudah pasti jabatan tumenggung akan menjadi milik yang lain. Atau bisa saja milik, saya. Bukankah, begitu, Pak Sumo?” sambungnya lagi begitu percaya diri ingin menyingkirkan Pak Karib dari tanah leluhurnya.

Lagi-lagi Pak Karib seperti sedang dikucilkan. Keduanya seolah-seolah sedang menari-nari di atas penderitaannya. Apalagi semenjak kepergian Sindra, sontak tidak ada lagi yang bisa membela Pak Karib. Sedangkan Sialang, masih terlalu dini untuk mengerti permasalahn orang dewasa seperti mereka.

Ini bukan yang pertama kali Pak Sumo menyelisihi pendapat Pak Karib sebagai seorang tumenggung. Apalagi soal pembagian jatah hewan buruan, dimana dia kerap kali melarang menjual hasil hutan seperti rotan, jernang, manau dan balam kepada orang terang tanpa melalui Waris. Meski itu sudah diatur dalam adat mereka, tapi dia malah menyalahgunakan jabatannya untuk mencari keuntungan secara sepihak. Wajar saja, jika pada akhirnya Pak Karib sangat dingin memperlakukannya.

Dimano bumi dipijak, disitu langit dijunjung[3]. Kalian boleh memilikki semua lahan ini, dan tidak ada yang bisa melarang kami pergi,” ujar Pak Karib berapi-api. “Tapi ingat,Keayik dimakan buayo, ke darat dimakan rimau[4],” sambungnya sengaja menyinggung sumpah adat antara Waris, jenang yang leluhur mereka lakukan sebelumnya.

Sumpah adat itu dilakukan untuk saling menjaga tanpa menzalimi satu sama lain antar warga rimba, sekalipun mereka telah terpisah. Seolah itu jawaban tegas dan sindirian untuk mematahkan ucapan Pak Sumo yang sering memperlakukan Pak Karib dan warganya secara tidak adil. Sekaligus seloka itu menjadi jalan keluar atas jalan buntu dari mereka yang masih berbeda pendapat soal melangun yang akan dilakukan oleh Pak Karib beserta keluarga.

Lalu bersama yang lainnya, mereka yang tetap mengambil jalan setia bersama Pak Karib, segera bersiap untuk meninggalkan Pak Sumo serta para pengikutnya yang lebih memilih bertahan di lahan tersebut. Dimana jumlah mereka yang bertahan, hampir sama dengan jumlah mereka yang pergi. Dan masing-masing terdiri dari gabungan beberapa kepala keluarga.

Lihat selengkapnya