Diatas rumah godong[1] yang baru dibuat, tetiba Pak Karib terperanjat. Peluh seninya mengucur deras dari wajah yang sedikit pucat. Di sekelilingnya sudah melingkar istri serta kedua anaknya.
“Bepak, mengigau terus dari tadi,” kata Bu Karib.
“Iya, Bepak meracau terus seperti orang sedang sakit,” timpal Siva.
“Apa Bepak sedang sakit?” tanya Bu Karib.
Pak Karib masih tampak kebingungan. Dia berusaha beranjak dari tempat peristirahatan dan memandang bulan yang dimakan rahu tanpa awan.
Memang, usai mereka mendirikan rumah dan berkumpul bersama, dari tadi Pak Karib terlihat menyendiri. Tatapannya kosong dan wajahnya murung. Meski yang lain bersuka cita menyambut lahan baru, ayah sialang irtu tetap memilih bungkam. Saat rombongan lain menikmati kebersamaan di hari pertama di tempat yang baru, sebaliknya dia yang malah menikmati kesunyiannya di dalam rumah godong.