“Mau apa kamu kesini?!” tanya Pak Karib berang. Tatapannya nanar dan wajahnya memerah. “Kamu tahu? Terlarang bagi laki-laki rimba bertemu dengan wanita rimba saat suaminya sedang berburu.” Dengan napas yang masih kembang-kempis, dia tengah menyudutkan seorang laki-laki rimba di sebatang pohon. Bukan tanpa alasan, laki-laki itu didapati tengah menerobos masuk ke pemukiman sepulang mereka dari berburu.
“Ma-maaf, Tumenggung. Saya hanya diutus Waris Sumo untuk menemui Tumenggung,” ujar laki-laki itu gagap. Keringat jagungnya mengucur disusul cawatnya sedikit agak basah. Dia tampak pasrah bersandar di batang pohon.
“Kalian sudah memilih lahan itu! Kenapa malah masih mengikuti kami?!” tanya pemimpin rimba itu dengan menyeringai. Gigi gerahamnya menggertak.
“Aku yang menyuruh mereka mendatangimu,Tumenggung Karib!” Tetiba suara khas seseorang yang dikenal Pak Karib keluar dari balik semak-semak belukar.
“Sudah kuduga. Ini pasti ulahmu lagi.” Pak Karib mendelik.
Sialang dan anak-anak rimba lainnya masing-masing bergelayut di tangan orang tuanya. Wajah mereka mengisyaratkan ketakutan. Oleh warga rimba lainnya, mereka disuruh masuk ke rumah godong. Sedangkan Sirro tidak urung meraung-raung.
“Walau sudah berpindah tempat, ternyata sikap aroganmu tidak pernah bisa hilang,” ucap sinis Pak Sumo, seolah ingin memancing kemarahan Pak Karib lagi. Dia tidak pernah berhenti untuk mengganggu ketenangan Pak Karib.
Keduanya seolah tengah menunjukan sentimen negatif itu.
“Kamu tahu pantangan itu. Kenapa tidak menarik rombongmu dari tempat ini? Dan aku masih Tumenggung yang sah di sini. Jadi hukuman berupa denda tetap harus diberlakukan sesuai aturan adat di sini,” tegas Pak Karib.