Lukman harus masuk penjara karena menjadi salah seorang target operasi kepolisian. Lukman terbukti sebagai pencopet di bawah naungan The King, seseorang yang sampai detik itu tak diketahui jati dirinya, tapi menjadi bos sebuah organisasi jalanan yang sangat meresahkan warga.
“Benar kamu anakbuahnya The King?” tanya Komandan Sita ketika berhadapan dengan Lukman di ruangan introgasi kepolisian.
“Bukan,” jawab Lukman, “Saya hanya copet biasa.” lanjutnya lagi.
Komandan Sita dan seorang anggota polisi lainnya yang berada di ruangan itu nampak terdiam seakan tak percaya dengan jawabannya Lukman, karena tak mungkin The King memperbolehkan orang lain menjadi copet di wilayahnya jika tak ada izin dari kawanan mereka.
“Saya mau pulang. Saya nggak mau masuk penjara, karena saya nggak terbukti nyopet,” kata Lukman lagi dengan tatapan mata yang berani pada mereka didepannya.
Komandan Sita memperlihatkan beberapa foto hasil jepretan intelegent kepolisian di jalanan, dan di dalam lembaran foto itu Lukman melihat dirinya sedang berjalan bersama orang lain yang di curiga menjadi anggota kelompok The King.
“Nggak. Itu bukan saya,” bantah Lukman.
Lukman tak membuka mulutnya lagi, karena memang sebenarnya Lukman dan kawanan pencopet lainnya tak pernah tahu atau tak pernah melihat langsung sosok The King yang katanya kejam. Mereka para copet rendahan seperti Lukman biasanya hanya kenal dengan bawahannya The King yang dikenal kepolisian sebagai orang-orang yang licin.
Malam itu Dito tak bisa tidur karena mikirin Lukman sahabatnya yang masuk penjara. Dalam benaknya Dito selalu berfikir gimana, “Gimana caranya aku nyelamatin Lukman?”
Tiga hari berlalu, Dito masih kepikiran Lukman yang belum juga dilepaskan dari penjara. Dito sudah menghubungi beberapa orang anak buahnya The King, namun tak ada usaha dari mereka untuk membebaskan Lukman.
Dalam hatinya Dito harus bergerak sendiri untuk melakukan upaya pembebasan Lukman. “Gimanapun caranya gue harus bisa bebasin Lukman, meskipun sendirian nggak apa-apa, yang penting berani,” kata Dito dalam hatinya, kadang yakin tapi lebih sering ragu.
Malamnya Dito berusaha memberanikan diri untuk melakukan sesuatu yang baru saja kepikiran nalarnya, yaitu mencoba mengancam Komandan Sita untuk membebaskan Lukman.
“Cuma ini satu-satunya cara supaya Lukman bisa dibebasin. Gue harus bisa mengintimidasi komandan polisi itu,” kata Dito dalam hatinya lagi, berusaha meyakinkan dirinya.
Setelah merasa berani melakukan aksi nekat-nya, Dito beranjak ke rumah Komandan Sita, lalu dengan sengaja dan penuh keberanian di balik rasa takutnya melempar pesan kertas yang dibalutkan pada batu kecil tapi bukan kerikil, lalu melempar batu itu memecahkan kaca jendela kamar sang komandan polisi, lalu kabur.
Dito bersembunyi di balik tembok rumah yang lain. Dito ingin tau reaksinya sang komandan ketika membaca pesan batu yang baru saja dilemparnya.