Situasi semakin tegang. Mobil melaju dengan sangat kencang. Sita berusaha mengangkat kakinya Dito supaya tidak nginjak pedal gas, namun rasa paniknya Dito tak memungkinkan dirinya untuk mengangkat kakinya sendiri dari pedal gas. Untung saja kondisi jalan sedang sepi, dan Sita berusaha fokus pada kemudi mobil.
“Awasin kaki kamu…!” seru Sita, sambil beberapa kali mencubit kaki kanannya Dito yang masih menginjak pedal gas supaya mau terangkat kakinya.
“Aku nggak bisa. Kaki aku udah kaku,” jawab Dito, masih panik.
Mobil mulai melaju tak tentu arah, karena Sita sudah mulai ikutan panik juga, namun Sita tetap berusaha untuk memfokuskan dirinya. Sedangkan Dito masih nampak panik dan terasa kaku sekujur tubuhnya.
“Aaakhhh …” teriak Sita merenggangkan rasa tegangnya, dan rasa kaget akhirnya membuat Dito bisa mengangkat kaki kanannya dari pedal gas mobil. Saat itu juga Sita langsung meminggirkan mobilnya, lalu ngerem mendadak. Keduanya nampak tegang dengan nafas yang tersengal-sengal lepas dari bahaya tabrakan yang mengintai.
“Aaaakhhhh …” teriak Sita lagi, kali ini teriakannya sengaja di depan mukanya Dito. Wajah Sita nampak me-merah selepas tegang jiwanya. Dito hanya terpaku kaku melihati Sita.
“Maaf,” kata Dito singkat saja, setelah dirinya merasa tenang untuk sesaat. Sita tak menjawab kata maaf dari Dito, karena saat itu Sita sedang berusaha menenangkan dirinya juga. “Permisi …” lanjut Dito, lalu segera membuka pintu mobil, namun Dito tak bisa keluar dari mobil itu, karena Sita keburu memborgol tangan kanan Dito.
Dito kaget, “Apaan nih main borgol segala.”
“Kamu di tangkap,” jawab Sita, singkat dan tegas.
Dito tak mau kalah, ia segera memborgol balik tangan kirinya Sita dengan borgol yang sama yang mengikat tangannya Dito. Keduanya nampak tegang saling bertatapan tajam.
“Aku nggak mau di borgol. Aku nggak mau masuk penjara.” kata Dito tepat di depan mukanya Sita.
Sita menyeringai kesal menanggapinya, lalu segera mengambil kunci borgol dari tas selempang yang ada di pangkuannya, namun Dito segera merebut kunci borgol itu dan memasukan kunci itu ke mulutnya, lalu menutup rapat mulutnya.
Sita nampak semakin kesal, “Keluarin kunci borgol dari mulut kamu. Cepettt…!” seru Sita, namun Dito tetap tak mau membuka mulutnya, “Nggak mau,” balas Dito dengan mulut yang masih tertutup rapat.
“Lepasin borgolnya…!” seru Sita menatap tajam pada Dito, dan kali ini Sita menodongkan pistolnya tepat di dahi Dito.
“Nggak mau,” tanggap Dito, tak bergeming dan juga tak merasa takut, “Kalo kamu mau tembak saya, tembak aja.”
Sita akhirnya menyerah, dan menyimpan kembali pistolnya, lalu kali ini Sita memakai cara halus untuk membujuk Dito.
“Please… Lepasin borgolnya. Mau ya… Pleaseee ...” kata Sita dengan nada yang sengaja dibikin lemah lembut.
“Nggak percaya,” balas Dito, masih keras kepala, sehingga membuat Sita kembali kesal melihat ekspresi mukanya Dito.
Sita segera memaksa Dito membuka mulutnya, namun Dito tak bergeming sedikit pun. Lambat laun kedua tangannya Sita yang berusaha membuka mulutnya Dito semakin melemah, dan akhirnya Sita kalah.
Sejenak keduanya hanya saling terpaku diam.
“Saya mau pipis, bentar, ya,” kata Dito mengatakan itu dengan mulut yang masih tertutup rapat, sehingga membuat Sita melongo, karena dengan borgol yang mengikat tangan mereka berdua membuat Sita harus ikut dengan Dito kemanapun Dito pergi.