Dari nada dan reaksinya, Dee sepertinya terdengar sedang menggeleng-gelangkan kepala sambil menggerutu sendiri menerima telpon dariku. Aku sudah hafal sekali dengan reaksinya. Mulutnya juga aku yakin terus komat-kamit seperti membaca mantra, “Lo gila … Lo gila … Lo gila … fixed, elo gila—double!!!”
Nah, kan, apa kataku. Keluar lag ikan kalimat itu, plus, fixed dan ada doublenya pula lagi,” batinku sambil tersenyum-senyum sendiri.
Dia terdengar panik dan marah sekali mendengar kata-kataku tadi. Aku? Ya, tenang-tenang saja sambil tetap mengemudikan mobilku di jalan tol yang cukup lengang.
“I know … I know, Dee …!” kataku sekali lagi, dengan tenang untuk meyakinkan Deeandra bahwa aku tahu apa yang aku lakukan kali ini, dan, ya … aku akan tetap baik-baik saja. Dan memang baik-baik saja kenyataannya.
“I don’t know … who knows,” teriak Deeandra, lagi. “I know, Dee … I know. It’s okay, it’s okey,” kataku sekali lagi, mencoba—sekali lagi—menenangkannya.
“Gua gak peduli. Pokoknya sekarang urusannya … leave it, and go back. That’s all!” Kata Deeandra dengan tegas. "Lagian emang kita pada tau elo akan kemana? Terus, kalaupun kita tau juga, apa lo juga akan peduli soal itu? Toh gue juga tau elo banget, elo pun juga tau kita banget. Lo kalo udah maunya, presiden planet Uranus pun gak akan bisa melarang.” —terdengar seperti mendengus—"Kalau kayak gini lagi ceritanya, gue kayaknya juga harus mulai siap-siap lagi untuk ngedampingin lo seperti yang kemarin-kemarin.” Emosi Mode: Prepare.
Aku hanya tersenyum, dan tidak berkata apa-apa.
“Kok diem? Lo lagi ngapain sekarang? Lo jangan aneh-aneh lagi deh, Ziy!!”
“Nggak kok. Cuma lagi dengerin lagu aja,” kataku santai dan tenang.
“Sh*t! Gak nyangka gue punya temen CEO sebodoh ini … ampun deh …,” keluh Dee dengan kesal sekali kedengarannya. “Naif …,” teriak Kevin tiba-tiba terdengar, dan agak lebih kencang.
Aku hanya tersenyum lagi, dan tetap tidak berkata apa-apa.
“Ko diem aja?”—terdengar helaan nafasnya—"Ziy … please, gue video call, yah? Atau kita ketemu dulu sebentar. Okey honey …,” suara Dee memelan.
“Bahaya, dan gue gak mau berhenti—lagi nyetir.” kataku dengan santai.
“Yaudah, ketemu aja dulu, Ziy,” suara Kevin kembali terdengar. “Iya, ketemu aja dulu, Ziy,” Deeandra menambahkan.
“Aman ko, Dee … Kev …. Percaya deh sama gue.”
“Gak, gua gak percaya lo kali ini!”
“Yaudah, gapapa,” kataku dengan sangat santai.
“Ihh, ngeselin! Ziy, please … dengerin gue … please. Kita ketemu dulu, yah, kita obrolin dulu kenapa dan ada apanya.”
“Gak ada apa-apa, kok, beneran.”
“Yaudah, dengerin gue dulu, okey … kita ngobrol dulu aja. Okey, Ziy.”
“Udah kan selama ini,” kataku lagi dengan santainya, sambil tersenyum lagi tentunya.
“Oh, maygat, Ziya. Yaudah, posisi …?”
“Jalan tol.”
“Ke?”
“I don’t know. We’ll know.”
“Yaudah, Mau lo apa sekarang?” Rasanya, suaranya mulai agak sedikit kesal kedengarannya.
“Nyetir.”
“Ziy … please ….”
“Dee, please. Calm down. I’m fine. And I’ll be fine. Just calm down—okey!”
“I’m not okey!”
“No, you’re not—you’re okey, and I’m okey too.” Diam sejenak. “Honey, I got to go. I’m fine, and will be fine. Trust me. I’ll call you … later. I promise!”
“Ziy—”
“I’ll still come tomorrow, i promise. Don’t worry, Dee.”