Papahku adalah salah satu pemilik media raksasa di Indonesia, dan beliau sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu. Beliau meninggalkan seorang istri dan putri semata wayangnya—yaitu aku—serta harapan dan keinginan terakhirnya yang belum sempat ia dapati, yaitu menyaksikanku menikah. Sayangnya, hingga akhir hayatnya, harapan serta keinginannya tersebut belum juga bisa aku wujudkan.
Sejak ditinggal papah, mamahku mulai sering sakit-sakitan, dan semakin sering juga mengingatkanku soal harapan dan keinginan mendiang papahku dulu. Lebih dari itu, mamahku juga mendadak ngidam seorang cucu dan ingin segera di panggil nenek, katanya.
Karena tak pernah mendapat respon yang cukup meyakinkan dariku, dan aku juga selalu sukses menghindar kalau ditanya soal itu—tentu saja, kalian paham kan maksudku?—mamahku semakin cemas dengan keadaanku dan juga mulai sering berinisiatif sendiri untuk mencarikan sosok-sosok calon suami yang menurutnya pas untukku. Di mana, ia selalu berusaha mencari sosok-sosok itu dari koneksinya dengan keluarga dari teman-teman bisnis papahku dulu.
Jujur saja aku kaget dengan inisiatif dan gerilya mamahku, walaupun di satu sisi aku juga paham dan mengerti sekali kecemasan selain maksud baik mamahku itu. Padahal, seingatku—selama ini—baik mamahku ataupun dulu papahku, nyaris tidak pernah ikut campur dalam urusan kehidupan pribadiku, terlebih urusan seputar dunia percintaanku. Hal ini semakin membuat resah pikiranku; keseharianku mulai rada goyang; pikiranku mulai tak seimbang; dan hari-hariku jadi terasa berbeda dari biasa-biasanya—jauh berbeda.
Aku suka bertanya dalam diriku sendiri terhadap semua pilihan mamahku yang coba dikenalkan ke padaku selama ini … ‘bagaimana mungkin orang yang tidak kita kenal dan terlihat tidak memiliki cinta; hidup selalu terlihat bertolak belakang dari nilai-nilai cinta itu sendiri; belum mampu menerima dirinya sendiri; berani dan mampu menipu dirinya sendiri—terlebih lagi perilakunya selalu bertentangan dengan kata-katanya sendiri; lalu tiba-tiba datang begitu saja ke padaku melalui pintu ajaib mamahku, dan langsung menawarkan cinta ke padaku karena mengaku telah memilikinya … dan untuk selama-lamanya pula ….
Mimpi, kataku. Jangan gila! Aku tahu kalian, walaupun mamahku tidak tahu. Ingat, aku tahu kalian! Jadi jangan coba menipuku, karena kalian memang tidak akan pernah bisa lari dari pengamatanku! Aku tidak sepolos itu ‘wahai kalian’! Lagi pula, aku juga sudah pernah mengalami hal semacam ini, dan aku tidak suka tentu saja, serta tidak akan mau mengalaminya lagi—tidak akan! Terserah kalian. Titik!