Aku sengaja tak mau turun dari mobilku. Pemandangan di depan kantorku pagi ini benar-benar membuat perutku terasa mulas. Sengaja juga aku parkir di seberang jalan, sambil melihat apa yang sebenarnya tak ingin aku lihat dari kejauhan.
Berkali-kali aku miscall Deeandra tapi tak diangkat olehnya, tidak juga Kevin—kemana mereka berdua, pikirku!? Padahal, aku tengah berjuang me-reject beberapa panggilan yang masuk ke handphone-ku ini, selebihnya aku abaikan tentu saja.
Aku pulang lagi saja, deh. Nanti siang—saat sepi—aku baru kembali lagi ke kantor, begitu pikirku.
Baru saja mobil aku nyalakan, seseorang mengetuk kaca belakang mobilku. Aku kaget sambil menengok ke belakang, aku pikir aku telah menabrak seseorang atau sesuatu.
Dua wajah yang aku tunggu sejak tadi mendekat ke arah kaca samping mobilku. Aku menurunkan kaca mobilku setengah.
“Kalian kemana aja, sih??? Kalian nggak lihat itu,"—sambil menunjuk—"di depan kantor?” kataku ketus dengan nada tinggi.
Kevin dan Deeandra tertawa. “Udah, tenang aja … geser!” kata Kevin memerintah.
Aku membukakan pintu mobilku untuknya, dan sejurus kemudian aku langsung melompat ke jok sebelah. Yeap, aku melompati tuas perseneleng mobilku tanpa turun terlebih dahulu dari mobilku. Dan sekejap kemudian, aku sudah duduk di jok penumpang sebelah supir—praktis.
Kevin segera masuk dan mengambil alih kemudi. Deeandra menyusul di kursi penumpang belakang. Kami bertiga masuk ke pelataran parkir kantorku yang cukup luas.
Sedikit melirik, beberapa orang yang tadinya masih duduk-duduk santai persis di depan pintu masuk kantorku segera beranjak bangun. Beberapa yang lainnya terlihat mulai berjalan mendekat ke arah mobilku yang sedang diparkir oleh Kevin. Dan kerumunan ‘wartawan gosip’—tebakanku—itu sepertinya benar-benar sudah siap dan penuh niat untuk mendapatkan ‘sesuatu’ dariku pagi ini.
Belum saja mobil di parkir dengan baik, kumpulan suara mereka mulai terdengar sedikit menembus kaca mobilku. Beberapa kamera terlihat sibuk mencuri apapun di dalam sini. Aku hanya menunduk, pura-pura memainkan handphone-ku.
Padahal sejak tadi aku sudah menghindari handphone ini, dikarenakan banyaknya telpon masuk dari teman-temanku; rekanan bisnisku; atau bahkan … dari beberapa nomor yang tak kukenal. Tak ada satupun yang aku angkat. Semuanya aku reject, dan banyak juga yang aku abaikan. Pokoknya, kecuali Ibu—mamah—aku tak akan mengangkat satupun panggilan yang masuk, hanya kecuali darinya. Titik.
Mobil terparkir sempurna. Di sekelilingnya, kumpulan wartawan menyelimutinya, sama-sama sempurna.
“Tenang—senyum!” kata Dee menenangkanku sambil meremas pelan bahuku. Aku menoleh dan tersenyum tipis.
Kevin segera turun lalu bergegas memutar ke sisi sebelah mobil, membukakan pintu untukku, dan diapun langsung merangkul tubuhku—berusaha penuh melindungi diriku.
Tangannya merangkul erat bahu kiriku, bersamaan dengan itu, Deeandra juga langsung menggenggam erat tangan kiriku. Mereka berdua mengapitku erat—tanpa celah.
Aku dipapah menerobos kerumunan. Kevin dan Deeandra hanya bisa mengucap mantra andalan, 'misi … misi … misi …,' berkali-kali, sambil terus melempar senyum sebisanya, dan terus mencoba menerobos kerumunan. Pandanganku terbatas hanya bisa melihat ujung kakiku yang terus coba melangkah, dan sebatas paha-paha dan pinggang yang berkerumunan mengikutiku di sekitarku.
“Iya, nanti ya … Iya, makasih, Mas-nya, Mbak-nya … Maaf, ya … Maaf, ya … Iya, nanti ya …,” itu-itu saja kata-kataku. Aku benar-benar tak tahu harus mengucapkan apa-apa lagi. Aku belum pernah mengalami dan merasakan hal seperti ini. Mungkin ini salah, mungkin ini benar, atau mungkin … Ahhh, gak taulah. Aku hanya ingin cepat-cepat masuk ke ruangan kantorku pokoknya—itu saja.
Tak lama, Ariyo, Tono dan Danuri juga ikut melindungi kami bertiga. Sepertinya mereka bertiga habis berlari ke arahku karena melihat situasi ini. Dengan kedatangan mereka bertiga, jalan kami jadi jauh lebih lapang. Kami semua akhirnya mulai bisa sedikit berlari ke arah pintu depan kantorku.
Sampai, begitu gumamku dalam hati saat hembusan AC menerpa wajahku. Aku segera masuk ke dalam kantorku, disusul Deeandra kemudian. Aku menoleh ke belakang, melihat Kevin, didampingi Ariyo, Tono dan Danuri di sebelah kanan-kirinya, sedang mencoba ‘menghadapi’ kerumunan wartawan yang bergerumul itu.
Dari sela-sela juluran tangan, kamera dan tape recorder, Kevin terlihat tetap tenang dan cukup berwibawa menghadapi semua ‘pertanyaan-pertanyaan’ mereka. Sesekali Ariyo juga membantu bicara kelihatannya. Aku mencoba terus mengintip dari balik jendela kantorku. Dee segera menarik tanganku, “ayo masuk, Ziy,” ajaknya cepat.
Saat membalikkan badanku, aku baru tersadar, sepertinya hampir seluruh karyawan kantorku tumplek blek di lobby front office ini. Mereka semua terpana memandangi diriku. Aku diam—bingung.
Datang sambil menepukkan kedua tangannya berkali-kali, “Heeey, come on, Guys … ini CEO kalian! Jangan hanya diam berdiri begitu saja. Come on, go back to work,” kata Winda tiba-tiba muncul sambil teriak dari balik pintu.
Winda kemudian berjalan cepat menghampiri aku dan Deeandra, lalu ikut menarik tanganku dan langsung membawaku ke suatu tempat. Mereka berdua memandu cepat langkahku menuju langsung ke ruanganku. Seolah-olah aku akan masuk ke sebuah ruangan yang benar-benar baru bagiku, padahal ... ini adalah ruangan pribadi kantorku sendiri—Ya ampun ....
*?*
Aku hempaskan tubuhku di sofa yang ada di pojok ruanganku. Mulutku setengah terbuka, mencoba memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam mulutku.
Aku terdiam sangat lama sampai Dee menampar-nampar pelan kedua pipiku. Ia tersenyum, menyodorkan cangkir berisi teh hangat untukku. (Kapan bikinnya, Dee???) Aku membetulkan posisi dudukku, menyereput perlahan, dan ketenangan kembali menghampiriku. Swiiingggg ....
“Pagi yang luar biasa,” kataku bersamaan dengan keluarnya kepulan asap bau teh dari rongga mulutku.
Aku kembali menyenderkan sebagian tubuhku. Dee duduk manis di sebelahku. Winda kembali keluar untuk mengikuti perkembangan situasi di luar kantor. Tinggal aku dan Dee di dalam ruanganku.
Dee hanya tersenyum simpul memandangi sahabatnya ini. Aku tak terlalu peduli dengan senyuman itu. Aku kembali menerawang, namun kali ini lebih sadar akan keadaanku ketimbang beberapa menit yang lalu.
“Mamah gimana, Ziy?” tanyanya memulai pembicaraan.
“Masih anteng di rumah kayaknya. Lagi pula, seperti pernah gue bilang sebelumnya, dia gak terlalu baca berita model beginian sih, Dee—apalagi berita online begini. Palingan beberapa sepupu-sepupu gue, itupun sudah kami bicarakan semalam di rumah gue—diam-diam.”
“Kata mereka apa?”
“Panjang, Dee … intinya, tetap mau yang terbaik untuk hidup gue, dan tetap menjaga nama baik keluarga, itu aja.”
Dee diam, begitupun aku.
Kevin masuk ke ruanganku sambil bertepuk tangan. Dia terkekeh-kekeh, “Amazing, Ziya Mari Kagumi,” lalu duduk di sebelahku, sambil menahan bibirnya tetap tersenyum.
“Gue udah jelasin semua ke wartawan. Singkat, jelas, padat."—diam sejenak—"Dan gue bilang lagi, permohonan maaf atas sikap dan reaksi Bu Ziya pagi ini, dan juga mohon pengertian dari semuanya. Kita doakan saja yang terbaik untuk semuanya. Clear! Terus gue cabut deh masuk ke dalam kantor—Done!” sambungnya lagi.
“Selanjutnya, gimana?” tanyaku pelan.
“Ya ... audisi,” jawab mereka berdua tiba-tiba, setengah kompak, sambil saling melihat satu sama lain.
“HAH, AUDISI??? Aduh ... lo berdua bener-bener deh ....”
“Why not?!” Kali ini keduanya lebih kompak.
“Terus lo mau gimana lagi” Kevin
“Guys, seriously?! Ini bukan ‘reality show ala-ala’ ya, Kev … Apa-apaan sih pake ada acara 'audisi-audisi' segala ....”
“Exactly!” sahut Kevin antusias. “This is, REAL! This is REAL, ZIYA! R-e-a-l-i-t-y Show!” tambahnya lagi semakin bersemangat.