Siapa Tau?

Airlangga Kusuma
Chapter #11

Mike Tyson, Postpone, Abandon?

#MikeTyson

Belakangan ini suasana di kantor agak berbeda, termasuk pagi ini. Situasinya, mirip-mirip saat kantor ini ‘baru belajar berjalan’ di tahun pertama-keduanya.

Tiba-tiba banyak project yang di postpone oleh karena satu dan sekian hal. Ada yang bilang karena efek dari berita viral itu, tapi ada juga yang bilang situasi bisnis memang lagi ‘gak happy aja’. Apapun itu, sepertinya Ziya tidak mau terlalu ambil pusing dengan semua itu. Yaah ... namanya juga bisnis. Pasti kadang ada saja kejadian dan hal-hal yang seperti ini. Ada beberapa yang bisa di prediksi dengan mudah—hingga akurat—tapi banyak juga yang memang sedang bergerak masuk ke ‘pintu ketidakpastian’. Semua hal mungkin, sama halnya, semua hal juga bisa tiba-tiba tidak mungkin. Namanya juga kemungkinan, bukan kepastian.

Mengorganisir sekaligus mengembangkan bangunan cukup besar—yang terus direncanakan semakin besar—dimana di dalamnya berisi puluhan orang selama beberapa tahun bukanlah perkara yang mudah. Terlebih, usia dan latar belakang manusia di dalamnya juga bervariasi.

Perbedaan bisa terjadi dan tiba-tiba meruncing begitu saja hanya karena persoalan beda tempat makan siang, atau kesalahan pengiriman pesan; dan atau bisa juga karena tak sempat hadir dalam acara makan malam.

Seperti kata Mike Tyson, ‘setiap orang punya rencana sampai mereka dipukul di mulutnya’, kurang lebih begitu katanya. Bisnis, selalu mencari cara dan celah sempit untuk memukul mulut para pelakunya, tak terkecuali perusahaan milik Ziya Mari Kagumi.

Walaupun bisa dikatakan ‘wanita’ itu terkenal cukup baik mengelola masalah bisnis serta cukup berpengalaman di bidangnya. Di tambah lagi, tak bisa dipungkiri ia juga belajar secara tidak langsung dari ‘ayah kandungnya’—sehingga pastinya banyak hal yang bisa ia ‘curi’ dari sisi sana diam-diam atau 'bilang-bilang'—tapi tetap saja, ia tetap saja tak bisa menghindar juga dari semua ini. Cukup babak belur juga ‘wajah aslinya’—sebenarnya.

Di tambah lagi, industri yang Ziya geluti ini semakin berkembang pesat saja setiap harinya. Banyak perusahaan-perusahaan rintisan baru muncul ke permukaan dengan berbagai kelebihan-kelebihan dan ‘semangat mudanya’. Ziya bersaing dengan itu semua, setiap harinya.    

“Tidak ada rumus yang sederhana tentang kerja manusia di dalam sebuah organisasi, dan tidak ada penyelesaian yang sederhana tentang masalah organisasi. Kita dapat bekerja efektif dengan manusia apabila kita dipersiapkan untuk memikirkannya dalam artian manusiawi.”[1] Kira-kira seperti ini kutipan kalimat yang ‘akrab’ di kepala para pelaku usaha ataupun pebisnis. Mereka semua tahu itu, dan sadar akan hal itu. Oleh karena itu, sekali lagi, itu jelas tidak mudah seperti katanya.

Terlalu menggunakan perasaan maka perusahaan itu akan berjalan seperti tanpa logika. Tapi terlalu mengutamakan logika, maka ‘ia’ akan mudah di cap perusahaan yang tidak manusiawi. Ada angka dan manusia soalnya dalam satu bangunan yang sama. Satu mewakili kepastian, satu lagi mewakili kemungkinan. Tapi terlepas itu, seorang pemimpin tetap akan dan harus menemukan serta menggunakan formulanya sendiri. Terserah sumber kumpulannya dari mana dan bahan saja saja. Yang jelas, mereka harus tahu, kapan ia menggunakan perasaannya, dan kapan ia akan mengedepankan logikanya. Tiap saat harus ditempatkan ‘pas’ sesuai dengan proporsi masalah dan keadaannya masing-masing. Ya, itu tidak mudah memang, karena semua bergerak dan bertumbuh sama-sama. Gerak langkah dan waktu yang bicara nantinya. Bukan sekadar katanya dan katanya.

Hampir setiap hari Ziya bergelut dengan masalah dan keadaan seperti itu. Selama lima tahun berdiri, sudah puluhan orang yang datang dan pergi. Ziya tak mungkin bisa keluar dan lari dari hal semacam ini. Kalau Ziya keluar dan lari sendiri, sudah barang tentu perusahaan akan ikut mandek—dan/atau setidaknya ‘terhambat’— karena tidak dapat berjalan sendiri tanpa nakhodanya tentu saja.

Sejak usia 22 tahun, Ziya Mari Kagumi belajar berdiri sendiri—berdikari—dengan caranya sendiri, dan setiap hari pula ia terus mencoba keluar dari bayang-bayang papahnya setengah mati.

Dia menolak semua yang papahnya siapkan dulunya, dan memilih memulai semuanya secara mandiri dari bawah; magang di perusahaan periklanan lokal saat masih S2 di London; hingga merangkak naik dengan pesat menjadi Account Director di bawah usia 30 tahun—rekor Account Director termuda di salah satu advertising agency multinasional di Indonesia kala itu. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membangun agency miliknya sendiri.

Lima tahun yang lalu ia mendirikan perusahaan ini, saat usianya baru menginjak 29 tahun—Mari Berdikari Agency (MBA)—dengan berbekal semua pengalaman yang ia miliki. Selain itu juga, Ziya dibantu orang-orang terdekat yang ia percayai serta penuh dedikasi dan kualifikasi, kalau mereka semua dapat bekerja sama dengan dirinya dalam jangka waktu yang lama. Ziya sukses tumbuh besar bersama Mari Berdikari Agency selama ini.

Tidak jarang pula Ziya keluar masuk acara seminar untuk menambah ilmu dan koneksi-nya. Dan tidak sedikit pula ia lari ke toko buku terdekat dan membeli buku-buku seputar dunia bisnis, perusahaan dan/atau semacam success story books untuk pegangannya.

Salah satu buku yang kerap ia bawa di dalam tasnya saat ini adalah, ‘Membumikan Manajemen Risiko; Jurus Jitu Disukai Rekan Kerja’ karya Wismanto Bimam yang merupakan seorang expertise ‘Manajemen Risiko’ yang cukup terkenal dan sangat berpengalaman lebih dari puluhan tahun di bidangnya. Bab terakhir di buku tersebut, 'Selamat Datang Era Ketidakpastian’, begitu mengguncang alam pikirnya. Kalimat tersebut sungguh tepat mendeskripsikan keadaannya beberapa bulan terakhir ini, lahir maupun batin. ‘Memasuki Era Resilience’, begitu pesan penulis bukunya.

*?*

 

Lihat selengkapnya