Sampai kapan ‘badai’ yang tengah menerpa perusahaanku—juga batinku—belakangan ini akan berlalu? Itu saja yang mengganggu pikiranku pagi ini.
Di lain sisi, ada hal lain yang terpikir dan sangat berbeda jauh dengan yang aku pikirkan pagi ini. Aku serius sempat berpikir mengenai ‘pengumumanku’ itu.
Aku pikir, ya sudah, semua ini ‘dibatalkan’ saja akhirnya. Dan selanjutnya, biarkan saja semua laki-laki itu lantas menyebutku sebagai, ‘wanita gila lah’, 'wanita aneh lah', apapun itulah sebutannya—terserah! Ya, jujur … jujur saja aku sempat berpikir serius mengenai hal tersebut. Dan kalian tahu apa, aku sempat percaya dengan keragu-raguan di dalam hatiku itu. Believe it or not!
Tapi, ya sudahlah—sekali lagi—aku tak bisa begitu saja meremehkan semua hal itu. Khususnya 'dorongan kuat' yang aku rasakan di dalam diriku ini. Itu seperti bukan diriku saja rasanya. Tapi itu adalah, yaa ... ‘bukan diriku’—itu saja kataku. Aku tak bisa berhenti di sini begitu saja, kan.
I have to follow the signs, begitu ingatku mencoba meretas lagi memori tekadku tempo hari.
Ironic-nya Alanis Morissette mengalun agak kencang di dalam mobilku. Sengaja aku keraskan volumenya, karena jalan tol hari ini agak lumayan lancar kelihatannya. Memang agak sedikit berbanding terbalik dengan isi lagunya, tapi biarlah, sekali-kali lagu dan deja vu tidak harus nyambung melulu, batinku. “Biar nggak kena ‘Genjutsu’, kata Deeandra menggebu,”
“… and isn’t it ironic—don’t you think?”
Gas pooolll, perintahku pada kaki kananku. Mobil sedan dua pintu ‘warisan’ papah yang sedang aku pinjam hari ini melaju dengan kencang diantara laju mobil lainnya di atas aspal jalan tol yang lengang itu.
*?*
#Pagi
“Udah sampe kantor, Kev?”
“Udah Ziy—'anak-anak' pada nginep semalem. Ada revisi lagi katanya.”
“Lha, kok bisa? Bukannya sudah final ‘file’ yang semalam katanya?”
“Yah, lo tau lah mereka gimana.”
“Yaudah, kumpul Direksi dan Head—kita meeting jam 9 teng.”
“Oke. Ariyo sama Winda udah stand by kok. Elo sampe kantor jam berapa emang?
“5 menit lagi gue sampe!”
__________
#Morning Briefing
Tak butuh waktu lebih dari 10 menit, Kevin, Ariyo, Winda, di tambah beberapa orang Account Manager sudah berkumpul di ruang meeting. Bisa dibilang ini adalah meeting paling serius yang pernah mereka hadapi belakangan ini.
“Sebentar … saya mau make sure dulu ... ini bener isi dari ‘invitation meeting’ di email saya dari mereka pagi ini?”
“Betul, Mba. Seperti yang Mba Ziya baca di Email yang juga saya forward ke Mba Ziya tadi malam.”
Ziya membuka dan membaca lagi email di hape-nya. Dia menghela nafas agak panjang. Sepertinya, tumpukan email yang memenuhi memori hape-nya tidak semuanya telah ia baca.
“Kamu gak ada rencana mention juga ke whatsapp saya gitu? Harusnya kan kamu bisa mention juga ke whatsapp saya. Yaaa, sekadar mengingatkan saya gitu. Gak ada,”—menatap mata karyawannya—"gak ada niat atau kepikiran hal kayak gitu?”—terdiam sejenak—"Karena kalau kayak gini kan bisa repot nantinya. Mana isinya penting begini coba,”—sambil membaca lagi email di hape—“dan, di tambah lagi saya baru baca—ngeh, tepatnya—tadi pagi,” keluh Ziya lemas kepada salah seorang account managernya.
“Maaf, Mba Ziya—takut ganggu. Sudah malam banget soalnya.”
“Ya kalau sepenting ini kan harusnya tetap kamu info ulang lagi ke saya! Jangan berhenti hanya di kamu saja informasi itu maksudnya. Saya kan sudah bilang berkali-kali. Informasi itu harus terus berjalan, biar semua orang yang terlibat di dalamnya juga terinformasi dengan baik semua. Gak sampai begini jadinya. Untung aja meetingnya di undur jadi after lunch, coba kalau nggak, gimana coba?” Kata Ziya panjang sambil coba tetap mengatur emosinya.
“Siap, Mba. Saya salah, saya minta maaf,” katanya lagi pelan
“Ini bukan apa-apa soalnya, saya juga sorry sebelumnya, ya—untuk semuanya juga di sini. Kalian semua dengar, ya. Jadi lain kali, tolong diingat baik-baik soal ini. Paham ya semua? Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi maksudnya."
Ia mengangguk pelan diikuti yang lainnya di ruangan itu.
"Sekalian, kalau bisa, bila ada pesan atau hal—terkait pekerjaan, apapun itu—yang memang sangat penting dan urgent untuk segera disikapi atau dibahas—terlebih berhubungan dengan orang banyak dan klien—tolong diteruskan! Jadi jangan berhenti di kalian saja informasinya. Kalau ke-skip sama saya—misal kalian ngirimnya ke grup whatsapp kantor, tapi saya gak read—yaa, jangan ragu untuk whatsapp atau telpon saya, pasti akan saya jawab atau balas kok. Bukan apa-apa soalnya, kalau sampai telat menyikapi dan/atau telat mengambil keputusan nantinya, kita semua juga yang repot nanti ujungnya."
Ziya terdiam sejenak, Suasana menjadi hening sekali.
"Ya sudah, close! Terus … soal ‘pitching’ salah satu Brand F&B kemarin, gimana tuh, Yo?”
“Gak jadi ke ‘kita’, Ziy,” jawab Ariyo pelan