#Dinner Time (@Dee2)
Ziya terlihat sedang mencoba memarkir mobilnya tepat di belakang mobil Kevin. Dari jauh terlihat kopikipiki Dee tidak terlalu ramai, hanya ada tiga pengunjung sepertinya, mungkin karena sudah agak malam.
“Finally, here you are,” sambutku sambil merentangkan kedua tanganku dengan memajang raut wajah yang agak sinis.
Seperti merasa agak bersalah, Ziya mencoba mengecup pipiku, sebagai ‘tanda perdamaian’, mungkin. Aku biasa saja—datar.
“Mau ngobrol di mana?” tanya Kevin mendadak muncul dari dalam.
“Entarlah, masih ada orang,” jawabku cepat, agak cuek. “Nunggu beberapa menit lagi nggak masalah deh ya, secara nunggu sebulan aja bisa-bisa aja, kan?” lanjutku lagi. Kali ini kututup dengan senyum manisku yang aduhai.
Ziya cuma diam, memainkan hapenya. Ziya yang salah soalnya. “Maaf, ya, Dee,” dalam hatinya—mungkin.
Kevin terlihat sibuk di depan mesin kopinya, ia seperti sedang membuat sesuatu. Ziya? Ia juga sedang mengetik sesuatu di hape-nya—entahlah.
Kevin berinisiatif menutup Kopikipiki lebih cepat sedikit dari biasanya. Biasanya sekitar jam sembilan malam kurang lebih, kali ini jam delapan kurang sudah sedikit demi sedikit ia mulai rapih-rapihkan.
Ia belajar ‘trik’ ini dari pengamatannya sendiri katanya. Setelah ia punya ‘warung’ sendiri, ia baru paham maksudnya, bahkan sering ia praktekan. And it works!
Tak lama, pengunjung ‘mengusir’ diri mereka sendiri. Mereka pergi dengan senyuman, Kevin melepas dengan lambaian. Kevin telah berhasil menerapkan. Hebat, pujiku dalam hati. “Zat azaib ready nih, Say,” batinku sambil senyum-senyum sendiri. Lampu dimatikan, kami bertiga ‘geser’ ke ruang tengah di dalam rumahku.
“Mari kita bicara,” kata Kevin memulai malam ini.
“You first,” kataku cepat sambil menunjuk Ziya, dengan tarikan senyum tipis di ujung bibirku.
“Sebenarnya, jujur aku agak bingung harus mulai dari mana,"—aku diam sejenak—“emmm … jadi gini,”—sambil mengatur nafas dan susunan kalimat di kepalaku yang masih agak berantakan—“soal kantor ... yeah, kamu tahu sendiri, aku gak akan bahas itu sekarang, silakan tanya aja sama Kevin. Tapiiii … yaaa, memang hanya itu aja alasan dan juga keadaannya kemarin-kemarin. Mau gimana lagi?” kataku bingung. 'Sumpah bingung'. Huhu ....
“Aku dan kamu? Baiklah, ini akan sangat serius sepertinya,” batinku. Aku hanya diam, dan tetap memperhatikan dengan seksama dan penuh khidmat.
“Tapi kamu—dan kamu juga,"—menunjuk Kevin—"kalian tahu dan kenal aku gimana. Ini hanya tertunda, bukan pembatalan. Tidak mungkin aku menarik kata-kataku sendiri.”—diam satu detik—"Tapi, heeyy … ini juga tidak ada sangkut pautnya dengan reputasi, ya—I hope. Camkan itu baik-baik!" kata Ziya sedikit tegas disini.
"Kalau pun ...,"—diam sejenak—"kalau pun, ini tidak berjalan sebagaimana keyakinanku ... harapanku—juga mungkin harapan papahku—di awalnya, aku akan menerima risikonya, sepahit apapun rasanya. Biar itu nanti jadi urusan seumur hidupku saja! Terjadi, maka terjadilah! Aku tak peduli soal 'perjodohan' ataupun urusan 'percinta-cintaan'. Aku pernah bilang ini di awal-awal kan, sebelum jadi ruwet seperti ini. Kalau itu memang sudah garisanku, ya sudah, aku akan coba belajar menjalani dan melaluinya, dan juga belajar mencintai laki-laki itu dalam perjalanan hidupku—siapapun mereka!” kata Ziya mulai terlihat 'marah' sambil mengepalkan tangannya sekuat tenaga di atas pahanya.
“Whooowww, whooo, whooow … calm down, Ziy ... calm down.”
Suara Kevin coba menenangkan gejolak batin Ziya yang mulai naik merangkak.
Ziya tak menggubris. Dia memalingkan wajahnya ke tembok, mencoba menembus kokohnya. (Tuiiit ... duaarrr).
Aku masih saja terdiam. Aku hanya ingin benar-benar memperhatikan semua yang ada pada diri Ziya. Pandanganku masih tajam, tak kalah tajam dari Ziya pokoknya.
“Lagi pula, kalau aku sudah tahu semuanya, maka aku bukan lagi manusia—dulu kan sudah pernah kita bahas soal ini,” kata Ziya lagi menambahkan.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Sengaja aku lakukan, biar Ziya bisa merasakan hembusannya, pikirku.
“Okey, I got your big point, Kamu skip karena hectic, Oke, fine. It’s fine. Yang jelas aku gak mau main salah-salahan lagi saat ini—Enough! Kita udah bahas soal ini panjang kali lebar waktu itu. Aku gak mau ngulang lagi—Close! Okey?!”
Semua terdiam. Sepertinya kami sedang sama-sama mengakses memory yang sama di waktu yang sama saat itu.
“Nah, sekarang, aku mau bilang sesuatu sama kamu. Jadi begini—"
Aku terdiam lagi, cukup lama. Dan aku tetap ‘menyimak’ wajah Ziya, sambil melihat matanya yang mondar-mandiri kesana kemari, seperti sedang mencari, atau malah mungkin melarikan diri dari sesuatu? Entahlah, hanya Ziya dan serbet warung yang tahu ….
Aku sebenarnya ingin sekali menyampaikan sesuatu pada Ziya, saat ini, tapi ….
"Gini aja dulu deh … Nah, di tanganku sekarang ada sejumlah daftar nama orang,"—sambil mengacungkan handphone dalam genggamanku—"aku yakin kamu sudah baca itu juga, walau hanya sekilas. Tapi intinya, ada yang sama-sama kita kenal, tapi banyak juga yang kita—atau aku tepatnya—tidak kenal. Selain itu, aku berinisiatif melakukan kurasi nama dari daftar nama-nama ini. Mungkin kamu ingin melihat hasil kurasiku.” Sambil menyodorkan handphoneku padaku.
Ziya membaca kurasiku secara perlahan.
Sepertinya Kevin pergi mengambil sesuatu, sekilas terlihat dalam ‘radarku’. Dan Ziya tetap membaca kurasiku, dengan tatapan mata yang kurang lebih masih sama saja sejak tadi.
Walau ada nama Gavin di daftar itu, aku yakin dia tidak akan terlalu kaget dibuatnya. Entah kenapa atau bagaimana, tapi aku yakin sekali dengan hal itu. Bahkan aku yakin, Ziya sedang agak sulit kaget-kagetan belakangan ini. Banyak hal yang jauh lebih mengagetkan terjadi soalnya dalam satu tahun belakangan ini dalam hidupnya.
Ziya seperti bergumam sangat pelan sambil terus membaca, tapi aku tetap saja bisa mendengarnya. “Beberapa nama memang aku kenal, dan sudah aku sedikit duga juga sebenarnya. Tapi sisanya, aku sepertinya hanya punya sedikit memori tentang mereka semua. Tapi apapun itu, ini bukan random people seperti dugaan orang-orang sama sekali,” gumam Ziya pelan sambil terus membaca.