Siapa Tau?

Airlangga Kusuma
Chapter #14

Instalasi

@Dee3

Dari balik jendela, aku cuma bisa melihat Ziya terus menangis sambil meringkuk dan memegang erat tangan mamahnya yang tengah berbaring dengan selang infus di mulutnya. Kali ini, tidak ada teriakan terdengar dari bibir Ziya, hanya suara detak dan detik yang berirama mengelilingi seluruh ruangan.

Wajahnya hampir benar-benar terbenam di antara tangannya dan tangan mamahnya. Ajakan suster untuk mengajaknya keluar dari ruangan ICU nyaris tak digubris olehnya. Ziya sudah terpisah dari dunia sekelilingnya. Sepertinya, Ziya benar-benar sudah ‘hilang’.

Kevin duduk tak jauh dari posisiku berdiri. Wajahnya hilang di balik kedua tangannya yang besar. Dia hanya menundukkan kepalanya sejak tadi. Aku sendiri bingung harus bagaimana. Serba salah rasanya.

Tak berapa lama, kudengar langkah kaki berderap mendekat ke arahku. Aku menoleh, terlihat dari kejauhan sepupu dan saudara-saudara Ziya lainnya mulai berdatangan sepertinya.

Dee … ada yang memanggil nama kecil—nama tenar—ku. Dia mendekat, langsung memelukku. Saking kagetnya, aku sampai bingung harus bersikap bagaimana. Banyak orang semakin mengerubungiku di depan jendela, mencoba mengintip dari balik tirai dan bingkainya.

Kevin ikut mendekat, dan mereka lantas saling berpelukan satu sama lain. Tak lama, Kevin sibuk menjelaskan perihal kejadiannya. Kupingku sekilas mendengar pembicaraan mereka, tapi sejujurnya mataku tak bisa lepas dari Ziya, yang terlihat sangat memilukan dari balik jendela ruangan ICU.

Aku tak tahu harus apa dan bagaimana lagi. Hanya dalam tempo beberapa jam saja, Ziya menangis di dua tempat yang berbeda, dengan berbagai hal dan kejadian yang menerpa.

Entah wanita macam apa yang sanggup mengalami semua kejadian ini dalam tempo yang ‘ketat’. Sungguh beruntung laki-laki—siapapun itu—yang nanti menikahinya. Wanita ini sungguh berbeda dari semua wanita yang aku kenal sebagai teman selama hidupku. Memikirkannya saja aku tak sanggup, apalagi mengalaminya, bisa meledak kepala dan jantungku.

Ada sedikit rasa bersalah sudah bersikap kurang baik padanya akhir-akhir ini. Kalau saja aku tahu akan berakhir di sini, malam ini … ya ampun, pikiranku jadi kemana-mana … tiba-tiba aku merasakan semacam, ‘empati afektif’[1] padanya saat ini …

Ya Tuhan, Ziya … Itu saja yang terucap di balik benakku, berkali-kali.     

“Kita fokus dulu di sini. Hal lain kita urus saja lain kali. Jiwa Ziya lebih penting dari urusan yang lain. Kesehatan Tante Milla juga segalanya. Ketika itu semakin memburuk, maka jiwa Ziya juga akan semakin terpuruk.” Begitu isi pesan singkat yang ada di hape-ku dari Kevin, suamiku.

Padahal sebenarnya jarak kami hanya tak kurang dari dua meter, tapi dia memilih ‘menulis’ daripada bicara. Aku pikir, aku pun akan melakukan hal serupa dengannya dalam situasi seperti ini, di mana setiap orang sedang saling bicara satu sama lain dalam jarak yang sangat dekat.

Aku mengerti—sangat mengerti—kataku dalam hati, namun tak membalas pesannya. Aku hanya mengangguk sedikit. 

Kevin tenggelam dalam perbincangan yang lain seputar kehidupan keluarga besar mereka. Bagaimanapun, Kevin adalah sepupu Ziya, dari garis yang cukup jauh tapi sangat dekat dalam kesehariannya. Aku tetap berdiri pada posisiku, dan hanya bisa berdiri, karena tak tahu harus bagaimana lagi.

*?*

 

Sudah hampir dua hari kami di rumah sakit ini sejak malam itu. Ini bahkan sudah hampir malam lagi. Ziya lebih banyak menghabiskan waktunya di depan ruangan mamahnya dan sesekali mencoba masuk ke dalamnya. Tak sekali dua kali ia harus ‘berdebat dengan susternya’ karena aturan normal ruang ICU yang tetap harus steril.

Sesekali aku mengajaknya pergi keluar dan memintanya untuk makan. Terkadang ia ikut keluar lalu makan, tapi lebih banyak ia tak habiskan. Bahkan, tak jarang ia menolaknya dengan tangan dan hanya duduk diam ‘menempa’ dirinya di balik sapu tangan.

Kami hanya tersisa berdua di sini. Yang lainnya, ada yang datang, ada yang pergi, silih berganti. 

Sebisa mungkin aku ‘memaksanya’ makan—sesering mungkin—tapi sebisa mungkin ia juga menolak makan—sesering mungkin.

Kevin sudah beberapa kali mondar mandir antara rumah sakit dan kantornya. Aku lupa, tapi seingatku, dia sudah dua kali ke kantornya hari ini, lalu balik lagi ke sini dalam tempo waktu yang tak terlalu lama.

Lihat selengkapnya