@Dee4
“Heh, bengong melulu,"—menjetikkan jarinya di depan hidungku—"makan yuk,” katanya lagi. Aku hanya mengangguk.
Aku, Kevin dan Masari menjauh dari ‘gerombolan’. Kami menuju kantin rumah sakit. Baru melangkah beberapa jarak, Kevin balik arah memanggil Misya. Sepertinya dia berpesan sesuatu pada Misya yang berhubungan dengan Ziya dan juga para karyawan yang lainnya—entahlah.
Aku berdua Masari berjalan lebih dulu jadinya. Kami hanya membicarakan sesuatu yang kurang penting dan klise sambil menuju pintu keluar—percayalah! Kevin menyusul setengah berlari kecil di belakang.
Endingnya, kami makan di sebuah kafe—'biar ada kopi-kopinya juga, katanya,'—tak jauh dari rumah sakit, alih-alih mau makan di kantin tadinya. Selesai makan, kami putuskan stay sejenak di situ.
Sebenarnya, kami menyelingi makan bareng ini dengan perbincangan-perbincangan kecil, tapi—entahlah—tak terlalu menarik untuk aku bahas ulang sepertinya. Keluar dan masuk kupingku saja rasanya.
Memang ada yang ‘nyantol’ sedikit, tapi itupun kayaknya mulai pelan-pelan pamit dari memoriku. Pikiranku masih terbang melayang kemana-kemana. Mikirin ini, itu; gini, gitu; lalu, terus … aaah, banyaklah pokoknya.
“Nambah, Kev … Dee?” tanya Masari pelan sambil tersenyum.
Kami berdua menggeleng pelan. Lagi-lagi, dibalas dengan senyuman oleh Masari.
“Sebenarnya aku ‘oke-oke’ aja makan di kantin tadi—enak-enak kok makanannya katanya, sumpah deh—cuma, yaaa … ora iso ‘udud’," katanya simple sambil—lagi-lagi—senyum dan menaikkan kedua alisnya.
Ia mulai membakar rokok yang sudah dipegangnya. Sekejap, kepulan asap keluar dari mulutnya.
Kevin kali ini agak terkekeh, sementara aku, yaaa ... tetap diam saja. 'Mau ngapain lagi?'
Aku hampir lupa satu hal penting tentang orang di depanku ini ... orangnya ‘konyol’. Sueer!! Co-founder yang kelakuannya ‘rada-rada’ koboy pokoknya dia ini.
Semuanya pasti setuju pendapatku. Lima menit saja kalian duduk dan bicara dengannya, kalian pasti langsung setuju seribu persen dengan kata-kataku barusan. Aku berani jamin! Tanpa syarat & ketentuan!
Tapi harus aku akui, kemunculannya kali ini, tepat—sangat tepat—di saat seperti ini. Setidaknya, aku bisa mulai menarik ‘tipis-tipis’ bibirku agar mulai tersenyum.
*?*
Masari memang orang yang konyol—kadangkala kocak dan iseng—tapi jelas di lain sisi, wibawa dan ketenangannya, TOP—numero uno!
Raut wajahnya sudah lumayan menjelaskan bahwa dia itu tipe pemikir yang keras dan bijak di satu sisi lainnya. Agak unik juga aku pikir si co-founder dari suami dan sahabatku ini sebenarnya.
Tingginya hampir sama dengan Kevin sebenarnya, cuma yaaa, agak lebih kurus sedikit saja ketimbang Kevin yang lumayan berotot hasil rutinitas agak bolong-bolongnya di gym. So-so lah wajahnya juga, walau tetap ya, termasuk ganteng dan keren sih orangnya—menarik lah pokoknya.
Orang akan sulit percaya kalau umurnya sudah tiga puluh sembilan hampir empat puluh tahun. Orang pasti akan berpikir dia berumur atau seumuran dengan Kevin lah minimal. Tapi nyatanya, wajah suamiku yang beda hampir lima tahun lebih muda darinya justru terlihat malah lebih tua darinya. Mungkin karena dia rajin senyum, atau yaaa … emang awet muda saja orangnya, itu saja sih.
“Heh … diem-diem bae'... ngobrol ngapah, ngobrol,” katanya lagi dengan logat ‘betawi’ buatannya. Kali ini aku dan Kevin sukses agak tertawa, walau yaaa, agak ‘ditahan dan dikontrol’ sih pastinya.
“Yuk, ngobrol,” lanjutnya lagi
“Coba, gimana tuh ceritanya, Dee ... in short aja, gak usah detail-detail amat,” tanyanya memulai percakapan.
In short, aku ceritakan semuanya ke Masari dan Kevin sekalian mumpung ada di sini semuanya. Tapi yang jelas aku mulai dari kenapa Ziya bisa ’pingsan’ malam ini.
Sebetulnya aku juga tidak melihat langsung kejadiannya, tapi kata suster yang ada di ruang ICU tadi, bahwa memang benar ada seorang laki-laki yang ikut membawa Ziya ke ruang IGD saat Ziya pingsan tadi.