Siapa Tau?

Airlangga Kusuma
Chapter #18

Jadi, batal atau lanjut nih?

“Duh, maaf ya, Ziy. Sampe lupa,” kata Kevin dengan nada berbeda sambil melihat malu-malu ke Ziya yang sedang cuek makan buah sambil nonton TV dari kasurnya.

“Yaah, wajarlah, Kev. Namanya juga laki-laki kalo lagi ngobrol … seru lagi topiknya. Gimana dong …,” ucapnya polos, sambil terus mengunyah,

“Yaaa, sorry, sorry …,” kata Masari, sambil masih menyisakan senyum sumringah di wajahnya. “So piye … batal atau lanjut?” tanyanya tiba-tiba. 

“Lha … ada juga aku yang nanya gitu tadi, Mas ….” kataku rada sewot.

Sambil tertawa, “Oooo iya, ya … lupa sayah,” katanya lagi. “Ya udah, lanjut, Dee. Sorry tadi terbawa suasana. Jadi lupa topik pembicaraan di awal. “Jadi gimana, Dee?” katanya lagi. Kali ini sepertinya sudah kembali normal nada bicaranya. Sudah kembali ke dimensi Ziya tepatnya.  

“Ya, itu, tadi yang aku mau tanya, Mas. Berarti rencana yang di rumahnya Om William, semua kita cancel ya, Mas?"—diam sejenak sambil memperhatikan reaksi Masari—"Maksudnya biar aku juga bisa jelasin duduk persoalannya secara singkat sih, Mas … kalau tau-tau mereka whatsapp aku maksudnya. Karena kan selama ini mereka semua ‘keep in touch-nya’ sama aku,” kataku lagi lebih menjelaskan.

“Ya udah, Dee, kalau begitu keadaannya. Bilang aja, atas kondisi yang, blablabla—'you know lah maksudku, Dee,'—maka semua hal ini terpaksa, blablabla … udah gitu aja, Dee,” jawabnya ringan dan santai.

Aku menengok pada Ziya, Ziya hanya diam. Buahnya sudah habis di makan sepertinya.

“Yaaa, tapi terserah kalian sih kalau kalian tetap mau melanjutkan ya. Saranku sih tetap seperti yang tadi—Close!" katanya lagi.

“Nanti aku bantu jelaskan, Say,” suara Kevin akhirnya juga muncul lagi ke ‘dimensi’ ini.

“Perlu aku juga yang menjelaskan pada mereka semua?” tanya Masari, dengan nada yang santai, tapi dengan mimik yang ‘mencurigakan’.

“Nggak, Mas—gapapa. Biar aku aja—aku bisa kok,” kataku lagi.

Semuanya kembali diam. Tapi tiba-tiba ....

“Kenapa … masih ada yang ngeganjel ya, Dee?

Aku mengangguk, dengan ragu-ragu.

“Ya udah,” katanya lagi, singkat.

“Hah, maksudnya gimana, Mas?

“Ya udah … jalanin lagi aja, Dee, kalau emang masih ngerasa ada yang ngeganjel gitu. Dari pada jadi ngeganjel kayak gini, kan,” kata Masari tiba-tiba.

“HAH? Maksudnya, Mas—Gak ngerti aku sumpah? Kok enteng banget sih bilangnya?” tanyaku penasaran.

(Agak diam sebentar sambil berpikir). “Bukan ngentengin juga sih, Dee.”—kembali berpikir dengan lebih keras—"Tapi terserah Ziya nya juga, sih ... terserah kalian lah pokoknya."—diam sebentar lagi, dan berpikir lagi—"Tapi apapun itu, tenang … aku akan ikut tanggung jawab kok—rileks,” katanya lagi, menutup.

“Gak, sebentar … aku gak ngerti, Mas—sumpah! Jadinya gimana nih, Mas? Bisa jelasin sedikit gak? Aku bingung aseeli, sumpah,” kataku penasaran. Super bingung tepatnya.

Masari masih terdiam. Matanya menerawang ke mana-mana. Pikirannya sepertinya sedang menerobos banyak pintu di dalamnya. Tidak ada yang paham dengan apa yang ada di balik pikiran Masari, terkecuali … Masari sendiri pastinya yang tahu.

Setelah menghela nafas cukup panjang, “Yaudah … jalani aja. Kita sama-sama lihat nanti hasilnya seperti apa, akan sampai di mana, atau tiba di titik apa. Pokoknya kita lihat aja nanti hasilnya sama-sama.” Menghela nafas lagi.

Lihat selengkapnya