Siapa Tau?

Airlangga Kusuma
Chapter #17

Batal atau lanjut?

@Dee5

“You and me will all go down in history, With a sad Statue of Liberty, and a Generation that didn't agree,” gumam Masari mencoba bersenandung sambil berjalan santai menuju ruang perawatan tempat Ziya di rawat.

Jangan lupa, dia berjalan sambil memainkan handphone di tangannya dan membaca sesuatu artikel sepertinya—which is itu tidak disarankan kata kebanyakan orang. Tapi anehnya, arah dan langkahnya tetap ‘benar’, dan sepertinya ‘radarnya’ tetap menyala dalam radius sekitar satu meteran di sekelilingnya.

“Tau lagunya, Dee?” tanyanya tiba-tiba

Aku menggeleng cuek.

“Sad Statue—System Of A Down,” jawab Kevin cepat di sebelahku.  

“Seratus,” katanya sambil sedikit tersenyum lalu membuka pintu ‘kamar rawat’ dimana Ziya berada di dalamnya, sendirian. 

Melihat Masari datang, Ziya sedikit histeris memekik namanya. Masari langsung memeluknya.

Ziya menangis lagi dalam pelukan Masari. Lagi-lagi, sedih sekali melihat pemandangan seperti ini. Air mataku pun mulai menitik lagi. Kevin langsung memeluk bahuku dan mengusap-usap punggungku.

−−−−−

“Makasih ya, Masari, udah mau datang jauh-jauh ke sini,” kata Ziya pelan sambil melepas pelukannya. Masari duduk di sebelahnya, begitupun aku dan Kevin, kami duduk melingkari kasurnya.

Di ruangan itu hanya ada kami berempat.

Mamah masih di ICU, ya?” tanya Masari pelan.

Sebenarnya Masari sudah tahu soal itu, tapi nampaknya dia hanya ingin memastikan lagi ke pada Ziya soal mamahnya Ziya.

Ziya mengangguk lemah.

“Sama siapa—ada yang stand by?"

“Ada Om Budi sama Tante Suli, mereka gantian stand by dan nginep dari semalem.”

Masari hanya mengangguk-angguk saja.

Kami berempat terdiam cukup lama. Aku memegang tangan sahabatku ini. Mengusap-usap lembut ‘punggung tangannya’, kemudian sesekali mengusap air matanya yang masih sedikit tersisa di pipinya.

“Aku udah denger semua dari Deeandra dan Kevin—semuanya,” kata Masari kemudian memecah kebisuan kami semua.

“Ada yang perlu aku lakukan? Aku hanya perlu meminta izin dengan anggukanmu, dan aku akan langsung jalan,” katanya lagi, pelan … tapi sedikit ‘menakutkan’ mendengar nadanya.

“Sudah, Mas—Gapapa,” jawab Ziya dengan lemah sambil memegang tangan Masari. Masari diam sambil membalas dengan anggukan kepalanya lagi, secara perlahan.

Kami berempat kembali terdiam.

“Udah, Ziy, kamu nggak usah mikir apa-apa lagi. Let it go semuanya,” kataku mencoba menenangkan pikirannya.

Ziya hanya terdiam. Pandangannya kosong dan ‘menunduk’. Sesekali dia membalas, kembali mengelus ‘pijatan jariku’ pada tangannya.  

“Jujur, tujuanku ke sini sambil ngajak Kevin dan Deeandra juga sebenarnya mau bahas sesuatu.”—kemudian secepatnya mengalihkan topik pembicaraan—"Tapi aku tahu … aku paham … jangan salah sangka dulu. Aku paham banget kondisi kamu dan juga mamah saat ini—paham banget. I’m just saying, kamu paham kan maksudku?"—Masari diam sejenak, lalu melanjutkan—"Tapi poinnya, urusan kantor biar aku dan Kevin aja dulu yang handle,” ‘pinta’ Masari.

“Saranku, kamu fokus pulihkan diri kamu aja dulu. Jangan pikirkan apapun. Urusan mamah, nanti biar Deeandra dan keluargamu yang lainnya yang bantu handle. Nah, urusan Miko—Close! Gak usah dibahas-bahas lagi—Ga usah!! Kita fokus dengan kehidupan kita sendiri aja sekarang. Biarkan dia dengan ‘dosanya’—Paham?"

Ziya terlihat mengangguk walau sangat lemah sambil menghela nafasnya.

"Urusan rumah dan para laki-laki itu, Close juga! Biar jodoh nanti datang sendiri, entah lewat mana dan cara apa. Kamu juga terlihat udah ada ‘usahanya’ kan sampai sejauh ini ... sampai masuk rumah sakit segala kayak gini —right? Artinya, kamu itu udah berusaha secara maksimal, dan gak hanya milih diam dan pasrah, apapun triggered-nya—paham?

“Dan terakhir, gak usah dicari-cari logic-nya dari semua hal yang udah bawa kamu sampai ke ‘ruangan’ ini, nanti yang ada otak kamu malah tambah mumet jadinya. Malah gak sehat-sehat kamu, Ziy. Terima aja udah apa adanya. Anggap aja sebagai pengalaman sangat berharga dalam hidup kamu. Udah itu aja.” Masari terdiam sejenak. Sepertinya belum habis kata-katanya.  

“Oiya, terus soal tulisan yang kamu temukan di buku papahmu waktu itu, anggap aja sebagai pengetahuan baru untuk kamu. Jangan terlalu dikaitkan dengan hal-hal ajaib atau semacamnya—apapun itu lah pokoknya. Logis saja, Ziy. Setidaknya kamu tau kalau papahmu pernah nulis itu, dan kamu juga akhirnya jadi tau kalau sebenarnya papahmu sejak dulu juga punya nasihat yang belum tersampaikan ke kamu. Udah, itu saja. Kalau soal harapan orang tua kepada anaknya, sih, semua orang juga tau dan sama aja, Ziy, di mana-mana juga. Paham ya, Ziya?"

Ziya, lagi-lagi hanya menunduk dan terdiam seperti sedang mendengar ceramah dari seorang Kakak.

“Ini bukan berarti tulisan papahmu tidak penting, lho, Ziy … atau aku yang kesannya gak percaya sama yang namanya keajaiban di dunia nyata. Bukan itu maksudnya. Jangan sampai salah paham, lho, ya. Pokoknya apapun itu, itu telah membawa kita semua sampai ke titik ini. Udah itu aja.

“Nah, coba kita lihat sisi lainnya kali ini. Karena aku juga paham … dan mengerti sekali … kalau banyak hal yang memang kadang kita tidak mengerti dan terkesan tidak ada logikanya di dunia ini, tapi hal itu yang justru bisa membawa kita dari satu titik yang tidak mungkin, ke titik yang mungkin dalam hidup kita. Itu saja. Tapi pokoknya, untuk saat ini … sekarang ini … gak ada hal lain, kecuali sehat dan positif. Itu lebih penting dan paling utama dari semuanya, Ziy. Dah, itu aja. Itu saranku untuk kebaikanmu, kebaikan mamah, kebaikan semuanya,” sambung Masari cepat, singkat, padat.

Lihat selengkapnya