Siapa Tau?

Airlangga Kusuma
Chapter #21

Sore Di Taman

Masari sudah sampai di rumahku setengah jam yang lalu. Selain kena macet, dia ternyata sempat mampir dulu ke mini market di pinggir jalan untuk membeli sesuatu.

Masari saat ini sedang di kamar mamah. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu, tapi bukan yang ‘berat-berat’ aku yakin, paling seputar keluarga dan semacamnya—yang ringan-ringan lah pokoknya.

Masari memang sudah seperti keluarga sendiri di keluarga ini. Dia bahkan memanggil mamahku yaaa, ‘mamah’ juga. Hormat dan santunnya Masari kepada mamahku nyaris tak ada bedanya dengan mamahnya sendiri. Dia benar-benar memperlakukan mamahku layaknya mamahnya sendiri. Terlebih, dia jarang ketemu mamahku sejak tinggal dan menetap di Bali. Aku pun sama santun dan hormatnya bila bertemu dengan keluarganya. Kami sudah menjadi ‘saudara’ walaupun tidak ‘se-darah’. 

Aku longok dari tirai kamarku, sepertinya mobil Dee juga sudah masuk ke halaman rumahku. Kevin nampaknya naik ojek online ke kantor hari ini. Mengejar waktu sepertinya dia bila terburu-buru begitu. Sudah hafal aku dengan kesehariannya.

Aku tutup layar leptopku sambil merapikan beberapa dokumen yang agak berserakan di sebelahku. Agak nanggung sebenarnya, tapi ya sudahlah, aku teruskan nanti malam saja, toh tinggal sedikit lagi, pikirku,

Beberapa menit kemudian isi rumahku sudah mulai ramai. Tentunya karena kehadiran Masari dan Dee—keluargaku itu.

Dee hilir mudik dengan santai seperti di dalam rumahnya sendiri saja sejak ia datang tadi. Gimanapun, kami semua memang masih terikat di satu tali keluarga yang sangat besar sebenarnya.

“Ziy, ngobrol di taman yuk,” panggil Dee agak kencang. Dia ngeloyor begitu saja sambil memegang segelas minuman di tangannya, dan juga camilan di tangan satunya lagi.

Masari menyusul tak jauh darinya. Dia terlihat membawa koran di tangannya. Masih saja orang ini baca koran cetak, pikirku.

Mengambil gelas minumanku, aku pun menyusul mereka ke taman belakang.

“Gak nunggu Kevin dulu?" tanyaku sambil duduk.

“Nyusul aja dia nanti—gampang,” sahut Dee enteng sambil menguyah camilannya.  

*?*

 

“Kenapa, DeeAman?" tanyaku sedikit penasaran dengan sedikit kerut di dahi.

“Ihiiiyy … My CEO is BACK!!!” kata Masari bertepuk tangan sambil tertawa.

Dee ikut tertawa, aku diam—malu! Huhu .…

(Sambil menepuk-nepuk pundakku) “Gitu donk, ini baru Ziya Mari Kagumi. Aku kagum ‘karo kowe’, Mbak, Ziy ….” ledek Deeandra.

Damn ….

"Giliran ngobrol rasa bisnis aja, gercep. Giliran ngobrol rasa cinta aj ... hmmm ...," ledek Dee lagi.

Damn (Jitak).

Mereka berdua tertawa lagi. Aku tetap diam—menahan malu! Huhu ….

“Ni mau bahas apa dulu nih, Dee—soal teknis besok ya?” kata Masari sambil menyisakan senyum di ujungnya.

“Naaah iya, Mas—betul” jawab Dee cepat.

"Obrolan rasa cinta nih, Ziy, bukan rasa bisnis—maap, yak." Masih usaha meledek sambil melirik aku. Aku diam, tak merespon. (Tapi dalam hati, damn ....)

“So, berapa orang jadinya yang ‘nekat’?” tanya Masari lagi.

“Empat.” Dee.

“Kamu kenal semua, Ziy?” Masari

“Kenal,” jawabku. (Mencoba fokus).

“Mantan, kah?”

“Cuma satu orang.”

“Siapa?”

“Gavin,” jawabku.

Ooo ....

“Lha, sisanya?”

“Carlos mantan orang kantor. Masari juga kenal kok. Terus ada Dito, aku gak terlalu kenal juga, tapi katanya ‘komika stand-up’ gitu deh. Terakhir si Rama deh. Aku juga gak kenal-kenal amat sih, Mas, jujur aja,” jawabku rada cepat dan datar.

“Lhaaa, aneh juga ‘komposisinya’, ya, Ziy?” Masari tak bisa menahan senyumnya, walau tetap agak ‘ditahan’ sepertinya. (Demi menjaga perasaan Ziya sepertinya. Uhuk :p).

“Daripada sebelum kurasi yang terakhir, Mas. Lebih aneh lagi komposisinya—beneran!”

“Tapi ya udahlah ... let it flow. Kita fokus dengan apa yang udah kita obrolin kemarin-kemarin di rumah sakit aja ya,” lanjutnya dengan nada suara berbeda.

“Iya, lagi pula yang sekarang kan goalnya ‘menyelesaikan yang sudah dimulai’. Jadi, ya udahlah … terserah Ziya juga nanti hasilnya gimana,” kata Dee menambahkan. “Emang kenapa, mau dibatalin lagi?” ancam Dee dengan sedikit kesal.

Masari ketawa. Aku hanya tersenyum. “Gak usahlah. Ntar pake ada adegan rumah sakit lagi—capek, deh,” kata Masari sedikit meledek.

Damn … sambil melarikan mataku dari lirikan mata Masari. Dee menepuk bahu Masari setengah kesal. Masari membalas. Mereka berdua jadi sibuk sendiri akhirnya.

“Yaudah, gapapa. Kalau memang mereka berempat, ya sudah, tinggal dijalani aja—simple,” ucapku kemudian.

“Tapi, Ziy … sebenernya dari cowok-cowok yang di jodohin sama mamah itu banyak yang kece-kece juga lho, Ziy. Gak mau kasih mereka kesempatan juga?”

“Ya ini kesempatannya. Gak mereka ambil, kan?” jawabku enteng. “Berkorban waktu aja mereka sulit, Dee, apalagi berkorban yang lainnya nanti. Yang ada nanti kalo merid main itung-itungan lagi,” kataku melanjutkan. “Bukan main buka-bukan ya, Ziy?” celetuk Dee dengan entengnya dengan muka sok datar. Aku jitak lalu kirim hadouken; Mode; Full power ….

“Orang rata-rata kalau udah punya duit mah susah, Dee, apa-apa cuma dianggap angka.” Masari.

“Nah tuh, Masari paham. Di kira kita ini cuma angka-angka doang. Kita kan manusia, bukan sekadar angka,” kataku dengan agak kesal entah dengan siapa. Huhu ….   

“Iya juga, sih.”—garuk-garuk kepala—"Tapi ada yang ganteng banget, Ziy—beneran, deh,” kata Dee lagi.

“Dih, elo aja sana, kenapa jadi malah dikasih ke gue. Gila kali lo,” balasku pada Dee. Dee melengos. Ledekannya berbalik padanya, dan dia tidak bisa terima itu sepertinya.

“Gue bilangin Kevin lho, Dee,” ancam Masari, setengah meledek.

“Lha, itu juga Kevin yang kasih tau, Mas—bukan gue,” bela Dee.

“Lha, bisa begitu. Gimana ceritanya, Dee?”

“Kevin masih kenal katanya. Tuh, Ziya juga,” sambil menunjuk aku dengan mulutnya. Aku diam saja—cuek!

“Terus, kenapa gak ikutan—atau kenapa—"

“Ya, tadi gue bilang, Mas. Soal angka dan pengorbanan,” potongku cepat. “Ooowwhh …,” respon Masari singkat. “Ya, gitu, deh,” lanjutku lagi.

“Gak ada ruang untuk orang-orang kayak gitu ya, Ziy—bener, gak?” kata Dee sambil menaikkan alisnya. “Yeap!” balasku cepat.   

“Ya, elo tadi ngapain nawar=nawarin ke Ziya, ‘Dee’a-n-d-r-a’,” tanya Masari rada kesal. “Cuma informasiin doang kok, Mas … sama, nawarin—dikit,” Dee bela diri dengan salah tingkah. “Yeee, sama aja dudul,” balas Masari setengan kesal. “Ya namanya usaha, sapa tau Ziya berubah pikiran,” balasnya lagi. “Power ranger kali, ah, bisa berubah-ubah,” ledek Masari, lagi. Aku diam saja melihat mereka berdua saling balas—cuek!

“Yaudah, Ziy … artinya memang udah jodohnya empat orang yang tadi,” kata Masari lagi. “Ya, kalau gak ada yang cocok yaa tinggal cari lagi nanti. Banyak yang ngantri juga kalo Ziya mah,” celetuk Dee dengan entengnya. Aku mencubit lengannya. Dee mencoba mengelak sambil membela dirinya dan tetap cengengesan meledekku. Masari hanya tersenyum melihat kelakuan kami berdua.

“The power of words,” kata Masari tiba-tiba dengan raut wajah yang masih menyisakan senyum di akhirnya.

Lihat selengkapnya