“Kok kamu malah bengong, Ziy? Sana balik lagi sama mereka,” ucap Mamah menyadarkanku.
“Nanti aja, Mah, Ziya mau ngobrol sebentar sama mamah. Mamah gak capek, kan?” pintaku manja.
Mamah pun tersenyum melihat tingkahku yang mendadak berubah seperti anak kecil. Sudah lama ia tidak melihatku bertingkah laku manja seperti anak kecil ini kayaknya.
“Yuk, sambil temenin mamah ngemil buah di dapur,” jawab Mamah. Aku tetap gelendotan di tangan mamah sampai kami tiba di dapur.
“Hey, katanya mau ngobrol? Ini kok malah diem aja ... ngeliatin mamah ngupas jeruk doang? Mau?” tanya mamah sambil menawarkan lalu menjejalkan jeruk ke dalam mulutnya. Aku hanya diam saja tak merespon, kecuali menghela nafas agak sedikit berat.
Hmmm … aku agak bingung harus mulai dari mana sih sebenarnya ....
“Mah, sebelumnya Ziya mau minta maaf banget sama mamah ….”
“Minta maaf kenapa, Ziy? Tumben amat kamu pake acara maaf-maafan segala? Lagian kan maaf-maafannya juga udah kemarin? Ni kenapa lagi sekarang? Ada masalah lagi, yah? Hayooo, apa … jujur sama mamah, jangan nutup-nutupin lagi,” tanya mamah memburu namun tetap berakhir senyuman. Tapi kok aku lebih berasa kayak ke sindir, yah. Huhu ... (Baper amat, Ziy!).
“Bukan mamahku sayang … mamahku cantik … mamahku manis—bukan masalah kok. Aman, Mah—tenang!”
“Nah, terus apa?” tanya mamah polos sambil memasukkan lagi jeruk ke dalam mulutnya.
“Ziya mau minta maaf sama mamah, karena belum sempet cerita panjang lebar soal semua ide yang viral kemarin. Karena ziya bener-bener gak nyangka kalo ternyata bakal seheboh kemarin soalnya, Mah ....”
Seperti bisa membaca pikiran, mamah memotong permintaan maafku, “Oooo, itu … kirain apa.” jawabnya polos. “Yaudah, gapapa sayang ... mamah ngerti kok. Beneran deh." Mamah tersenyum sambil menyembunyikan lagi jeruk di balik mulutnya. “Terus, mau bahas apa lagi sekarang, sayang? Udah kita bahas juga kan kemarin-kemarin?” tanya mamah lagi sambil mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum simpul.
“Iya sih, Mah.”
“Ya sudah, kan. Terus, ada apa lagi? Tinggal kamu jalani aja kan sekarang.”—Mamah terdiam sejenak, seperti menyadari sesuatu—“Oowh, I got it.”—tersenyum—"Permission, ya, Ziy? Ayo jujur ….”
“Ya … kira-kira gitu deh, Mah,” jawabku setengah malu-malu.
“Sebentar, apa dulu nih konteksnya. Biar clear semua maksudnya,” ucap Mamah rada tegas kali ini. “Kalau soal ide dan rencana kamu, ya sudah—go for it. Gak mungkin juga sekarang kamu tunda atau malah dibatalkan juga kan? Lagi pula gak ada masalah juga kok untuk mamah. Nah, kalau soal ‘laki-laki’—calon suami kamu itu, siapapun itu orangnya—terlepas terkait sama ide dan rencana kamu kali ini atau tidak,”—terdiam sejenak—“as long as you’re happy, I’m happy for you. Paham? Ya udah, Itu aja sih palingan kalau dari mamah. Ada lagi … atau kenapa lagi?”
Aku hanya bisa diam. Sebeneranya ada yang mau aku bicarakan dengan mamah saat ini, tapi entah kenapa tidak terpikir apapun saat ini. Gimana yah … hmmm ….
“Soal kata-kata papahmu? Masih belum ngerti juga maksudnya?” tanya Mamah tiba-tiba dengan santainya.
Aku agak sedikit kaget, kikuk tepatnya, “Hah? … Itu, Mah …,” jawabku kemudian dengan suara pelan dan sedikit ragu. Mamah hanya tersenyum melihat reaksiku.
“A fool, a student, a sleep, and … a wise man,” ucap Mamah santai, sambil tersenyum di akhirnya. Aku hanya diam.
“Terus menurut kamu,”—jeda sejenak—"akan ada a wise man … came for nowhere, yang tiba-tiba datang dan masuk ke rumah papahmu itu, lalu kamu nikahi begitu aja. Gitu, Ziy?”
Aku tak menjawab. Pertanyaan mamah kali ini luar biasa membuatku … terpaku.
“Kalau dari mamah sih, simple sebenarnya sekarang, Ziy. Siapapun itu orangnya, kalau memang bisa jadi Imam kamu, ya kamu ikuti. Itu aja kok.”
“Tapi kan hal yang tampak dan kedengarannya simple belum tentu simple beneran, Mah,” ucapku tiba-tiba.
“Setuju,” jawab Mamah singkat. “Makanya jangan cari dan pilih yang ruwet,” tambah Mamah lagi dengan tenang.
“Benaran deh, Mah. Ziya makin gak ngerti, beneran—sumpah,” kataku bingung.
“Gak usah pake sumpah-sumpahan segala gitu ah, Ziy. Ngerti kok mamah, Ziy,” balasnya tenang. “Iya, Mah, maaf,” jawabku kemudian.
“Gini deh, Ziy … wait—lemme think first,” katanya lagi. Matanya menyipit, garis bibirnya menyudut ke bawah, dan dahinya lebih berkerut. Mamah mengangguk-angguk sendiri dalam diamnya. Mamah menelan jeruk dalam mulutnya, kemudian melihatku, tersenyum, dan kembali bertanya, “Menurut kamu papahmu is a wise man, Ziy?” tanyanya tiba-tiba.
Aku kaget dengan pertanyaan mamahku kali ini. Aku hanya bisa terdiam sambil terus berpikir, ‘apa maksudnya pertanyaan mamah kali ini,’ begitu batinku. Aku berusaha mengingat semua hal yang terkait dan menyangkut almarhum papahku. Aku yakin sekali pertanyaan mamahku yang ini bukan sekadar pertanyaan biasa. Sungguh, aku tidak benar-benar yakin apa maksud mamahku bertanya hal ini padaku.
“Bingung?” tanya Mamahku lagi. Aku mengangguk, walau terselip ragu didalam anggukannya. Mamahku bisa melihat itu.
“Menurut Mamah?” tanyaku berbalik.
Mamah sedikit menghela nafasnya. Ia lalu mengambil segelas air di depannya, meminumnya sedikit, lalu kembali menatapku dengan hangat.
“Kalau soal definisi, yaaa … kamu gugling sendiri ajalah. Kamu kan anak digital katanya. Semua serba cepat. Speed is a key, katanya. Lebih terbiasa ‘akses’ dari pada ‘proses’.”
“Ih, mamah—ngeledek, nih. Ya tetap berproses alias ada mikir-mikirnya lah, Mah. Masa apa-apa akses … ntar gak kepake lagi otak Ziya—pindah ke gugle semua.” Membela diri sambil ‘nyubit’ tangan Mamah. Mamah hanya tersenyum. “Mamah diem-diem gini, sekalinya ngomong ‘nyelekit’ juga ya, Mah.” kataku lagi bernada kesal.
“Yeee, kamu aja yang terlalu ‘baperan’. Masa mamah cuma bilang begitu aja kamu langsung merasa ‘tersindir’ gini, pake bilang ‘nyelekit’ segala lagi. Berarti bener dong kalau kamu sampe tersindir gini?” ledeknya lagi. Aku kembali menyubitnya sambil mengeluh dan bicara tak jelas. Mamah hanya mengelak dan tetap berusaha menggodaku sambil tetap menjaga senyumnya.
“Yaudah, terus intinya apaan nih, Mah? Ziya nunggu jawaban mamah tau dari tadi.” Mulai sedikit ‘merengek’.
“Nah bener berarti, sukanya ‘akses’, karena cepet.”
Aku menyimpan kata-kataku dalam hati walau wajahku tetap saja tak bisa menyembunyikan rasa kesalku.
“Ibarat sehari-hari … hidup tuh tetap perlu unggah-ungguh, Ziy, bukan cuma unggah unduh.” Kata Mamah enteng. “Apa-apa maunya langsung cepat aja, gak ada pembukaan-pembukaannya. Semua dipukul rata. Mentang-mentang zaman udah serba cepet sekarang,” lanjutnya lagi.
“Ih, Mamah … sumpah ….” (Kesal Mode: Full).
“Kenapa lagi?” Tetap meledek dengan sisa senyum di bibirnya.
“Bukan cuma ‘nyelekit’, tapi ‘dalem’,” ucapku setengah kesal tapi sedikit bernada manja.
“Ya iyalah, namanya juga orang tua. Kecuali yang bagian ‘nyelekitnya’.” Ditutup Mamah, juga dengan ‘bela diri’.
Aku membalas lagi, tapi kali ini dengan diam, kecuali mulut yang mulai ku tekuk. Itu balasanku. “Baru juga ngobrol, udah mau langsung intinya aja,” ucap Mamah lagi. Aku tetap diam dalam posisi dan sikap yang sama, Mode: ON.
“Giliran ngobrol seperti ini aja, kamu maunya cepet-cepet—straight to the point. Tapi giliran obrolan kantor atau bisnis aja … seharian kamu layanin,” lanjutnya lagi.
Fixed, ini paling ‘dalem’, dari semua kata-kata mamah yang tadi. Tapi entah kenapa, aku benar-benar merenungi kata-kata yang ini. Rasanya beda sekali soalnya. Ibaratnya, ‘tepat sasaran’ … dan rasanya justru seperti, ‘menyadarkan’.
“Tumben rasanya kayak gak merasa tersindir lagi. Tepat sasaran yah berarti?!” Usaha meledek masih Mode: ON. Aku hanya diam. Tak mau melihat ke arah Mamahku. Mamah hanya tersenyum saja melihat tingkah lakuku. Sesekali mamah geleng-geleng kepala dan berdecak sambil menyebut namaku beberapa kali.
“Ya, sederhananya, ya itu, Ziy … kebijaksanaan,”—mamah terdiam sejenak, menatap mataku dengan dalam namun tetap menarik senyum di bibirnya—"kumpulan pengetahuan dan pengalaman—lahir-batin—untuk dan agar menghadapi situasi-situasi real seperti ini,” kata Mamah selanjutnya dengan nada bicara cukup cepat. Bertahan dengan tatapan nya, kemudian segera beralih mengupas jeruk lagi. Aku menunduk, sambil mengangguk, walau perlahan-lahan. “Got it?” tanya Mamah lagi dengan santai sambil meneruskan kupasan kulit jeruk di tangannya.