Sebagai seorang Financial Advisor yang sudah cukup terkenal, audisi ini tampaknya telah membuat Rama agak kesulitan untuk melakukan reschedule semua agenda meeting yang sudah dijadwalkan dengan klien-kliennya dari jauh-jauh hari. Rama terpaksa membuat Merry—Personal Assistant-nya—mencak-mencak karena harus men-cancel semua kegiatannya selama sebulan ke depan, yang sudah diatur sedemikian ciamik oleh Merry.
“Pak, ini susah banget lho atur waktu sama Pak Toni. Belum lagi sama Pak Darmawan—belum tentu bulan depan dia punya waktu untuk ketemu sama Bapak!
"FYI juga, Pak, Pak Steven katanya mulai minggu depan sampe akhir tahun ini bakalan stay di Hong Kong, dan gak bakalan ada di Jakarta sama sekali. Terus jadwal Bapak untuk interview dengan salah satu TV Nasional termasuk memperpanjang Passport dan bikin Visa, gimana?” Tanya Merry bertubi-tubi begitu tau permintaan Bos-nya untuk membatalkan semua jadwal selama sebulan.
“Udah gapapa, Mer. Pokoknya kamu atur aja semuanya sebaik mungkin. Untuk jadwal meeting usahakan lobby sekretaris mereka. Bilang aja saya lagi ada misi penting demi masa depan yang jauh lebih cerah. Pasti mereka mau ngerti dan bisa atur jadwal ulang. Toh mereka yang butuh saya,” jawab Rama dengan pede sekaligus 'sombong'.
“Bukan masalah mereka yang butuh sih, Pak. Tapi, ini juga akan mempengaruhi reputasi Bapak sebagai Financial Advisor di Indonesia yang udah TOP dan selalu menepati janjinya. Saya nggak mau reputasi yang sudah Bapak bangun selama beberapa tahun itu harus rusak begitu aja karena urusan yang gak penting! Lagian misi penting apaan sih, Pak?” cecer Merry menyatakan kekhawatirannya dan berujung penasaran.
“Eh sejak kapan kamu jadi kepo gitu?” Rama balik bertanya.
Selama 5 tahun kerja bareng, Rama tak pernah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan tentang pribadinya dari mulut seorang Merry. Itu yang membuat Rama begitu percaya pada Merry, karena Merry bukanlah tipe wanita yang kepo dan doyan ngegosip. At least nggak pernah terlihat julid di hadapannya—nggak tau deh kalo di belakangnya. Hoho ….
“Sekali-kali boleh dong saya kepo, Pak. Hehe ... Lagian tumben banget bapak secara mendadak banget mau rehat sampe sebulan. Biasanya, buat liburan paling cuma 2 minggu aja, itu pun sudah Bapak planning dari enam bulan sebelumnya,” jawab Merry tak enak hati, mendadak merasa melanggar privasi bosnya.
“Ya ... sekali-kali saya juga boleh break dadakan donk, Mer,” ledek Rama, sambil mengerlingkan matanya.
“Baiklah kalo itu mau Bapak ... saya akan coba atur lagi sebaik mungkin semuanya. Selamat beristirahat, Pak.” Akhirnya Merry menyerah.
“Eh tapii ... Bapak sehat-sehat aja kan?” Tiba-tiba terbesit di otak Merry kalo Bosnya itu mengidap penyakit mematikan yang membutuhkan istirahat total selama sebulan—kayak di drama-drama Korea. Hoho ….
Rama tersenyum melihat raut wajah Merry yang terlihat sangat khawatir.
“Saya sehat kok—tenang! Sudah saya bilang, saya lagi ada misi penting untuk masa depan saya. Bukan istirahat total seperti di bayangan kamu. Kamu kayaknya kebanyakan nonton drama Korea deh. Nanti pas saya rehat, kamu juga istirahat gih. Jalan-jalan atau liburan kemana kek, jangan nonton drakor muluk! Biar balanced gitu lho, Mer,” jawab Rama menutup diskusi malam itu.
Ia pun membereskan meja kantornya sambil berpikir keras kira-kira apa saja yang boleh ia bawa untuk menemani dirinya di rumah Papah Ziya nanti. Akhirnya ia memutuskan hanya membawa pulang buku agenda, kalkulator saktinya, dan juga buku ‘Membumikan Manajemen Resiko’ di atas mejanya yang belum sempat ia baca.
*?*
#Rumah Om William
Hari pertama di rumah milik mendiang Papah Ziya—Om William—yang selama ini Rama hormati dan kagumi. Masih jelas teringat dalam kepala Rama, ketika ia duduk di bangku kuliah semester akhir—Fakultas Ekonomi di salah satu Perguruan Tinggi ternama di Indonesia. Ia sempat mengikuti sebuah seminar, berjudul: 'Peran Financial Planning untuk Industri Media'. Dimana dalam seminar tersebut, ada satu quotes yang diucapkan oleh Om William—yang dikutip dari Peter Lynch—yang kemudian ia jadikan salah satu pegangan untuk memulai sesi dengan klien-klien barunya selama ini, yaitu: 'know what you own and know why you own it'. Sejak saat itu, Rama penasaran dengan sosok Om William dan selalu mengikuti segala sepak terjang beliau di industri media di Indonesia.
Walau tidak memiliki kedekatan, hubungan bisnis, apalagi hubungan darah, saat Rama mendengar bahwa Om William meninggal dunia, hatinya sangat sedih. Ia bahkan sampai mengirimkan karangan bunga ucapan belasungkawa yang sangat besar ke kantor Om William. Ia merasa kehilangan sosok yang ia kagumi begitu saja. Karena itu, ketika 4 tahun yang lalu ia memiliki kesempatan untuk terlibat dalam suatu project yang sama dengan Ziya Mari Kagumi—anak semata wayang dari Om William—tak mungkin ia melewatkannya begitu saja.
Pertama kali Rama melihat sosok Ziya, jujur ia sempat under estimate. Karena menurut pemahamannya, anak dari seorang 'Pengusaha Besar' hanyalah seseorang yang hanya bisa dan terbiasa menggunakan ‘priviledge’ dalam hidupnya. Tapi begitu ia melihat bagaimana Ziya bersikap dan berbicara, semua persepsi negatif ‘anak dari orang kaya’ runtuh begitu saja. Sama sekali tak ada unsur priviledge yang di tunjukkan dari diri seorang Ziya.
Ziya mampu membuktikan bahwa dirinya bukan sekedar anak orang kaya dan 'manja', melainkan juga seorang wanita yang sudah mampu berdiri di atas kakinya sendiri dalam dunia usaha dan bisnis. “Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.” Itulah yang ada di dalam pikiran Rama soal Ziya Mari Kagumi. Sejak saat itu, bertambah satu lagi orang yang Rama kagumi selain William Wijaya.
*?*
*Percakapan di Grup Whatsapp Audisi For Ziya*
“Gimana peserta kedua?” — Tanya Masari.
“Kalem-kalem aja sih. Belum ada pergerakan yang gimana-gimana.” — Sahut Dee.
“Hmm ... we’ll see, kira-kira akan bertahan berapa lama.” — Masari sangsi.
“Paling juga cuma kuat seminggu. Mau taruhan?” — Ajak Kevin 'bercanda'.
“Hmm ....” — Balas Masari cepat.
“Siapa takut?” — Dee tak mau kalah.
“Mau taruhan berapa-berapa nih?” — Kevin semakin nantangin.
__________
“ELO SEMUA GILA APA?!? Kenapa malah pada taruhan disini?” — Ziya nongol dengan emosi.