Siapa Tau?

Airlangga Kusuma
Chapter #29

Makan malam (Siapa tau?)

“Kamu ngantuk atau beneran gak ada niat ngobrol sama aku? Gapapa kok, aku bisa langsung pergi aja sehabis ini,” katanya cepat sambil tersenyum.

Jujur aku kehabisan kata-kata dan gaya. Sebenarnya beberapa kalimat sudah terlintas di kepala dan hampir saja keluar di ujung lidah, tapi … aduuuh, ampun deh .…

Gavin hanya tersenyum kecil melihat reaksi bingungku.

Kepalaku menoleh kesana kemari, mencoba mencari objek yang bisa aku pandang untuk men-trigger urat kepalaku. Duuhh, mentok ternyata .…

Bagaimana tidak, aku sudah sangat lama tidak melihat, dan juga tidak bertemu laki-laki—mantanku ini—yang sekarang sedang duduk makan malam bersamaku ini. Hampir saja aku lupa bagaimana detail wajahnya; rambutnya; matanya; hidungnya; bibirnya; semua detail itu pokoknya—hampir lupa, jujur aja.

Silakan saja kalian bilang kalau aku sedang mengada-ngada karena hampir lupa dengan semua itu, tapi percayalah, aku memang lupa, bahkan sekarang jadi tidak ingat, lagi! Please … percaya yah. aku blank sekarang—sumpah .…

­­­­__________

(Sambil tersenyum lagi) "Hey … halo … Ziy,”—menjentikkan jarinya; ‘ctak’, tepat di depan hidungku—"Malah bengong lagi,”—lalu tersenyum—"Yaudah, gapapa … Aku pulang aja, yah,” katanya lagi dengan tenang.

“Eeeh, jangan! Kamu kan udah menang. Masa mau pulang?” Sedikit kikuk aku akui, tapi yaa, itu spontan.

(Menatap tajam padaku) “Menang? Memenangkan apa? Kamu?”

“Eeh?”

“Iya kamu. Memenangkan kamu maksudku?”

Mulutku menganga, makin tak bisa mengucapkan apapun jadinya—sumpah.

“Lha, terus tujuan kamu, apa? Bukannya supaya bisa menang?"—keluar juga kata-kataku, tapi kenapa malah nanya gini sih??—"atau maybe … jadi bisa menikahi aku, seperti yang kamu tau selama ini??” kataku lagi sedikit lebih Pe-De, dari tiga detik yang lalu.

Gavin mengernyitkan dahinya.

“Yaudah gapapa, aku pulang aja ya, Ziy. Ketemu dan makan malam denganmu saja sudah sangat cukup kok bagi aku,” katanya tetap tenang sambil tersenyum.

“Ehhhh, jangan!” Hampir saja aku bangun berdiri dari kursiku.

"Kamu bukan piala dan tidak pernah aku anggap seperti itu selama ini," tatapnya tajam. Aku (langsung) diam, juga menatap, tapi tak tajam.

"Seperti halnya dua orang yang sedang berhadapan, aku hanya mau bicara, itu saja. Akhirnya nanti, kita sama-sama lihat nanti." Gavin. Namun kali ini tatapan tidak terlalu tajam, kecuali, ya, kata-katanya.

"Bicara,"—aku terdiam, sedikit menunduk; 'aku jadi teringat sesuatu dengan kata ini'—"ya, benar ... kita bicara,"—diam sejenak—"baik, mari kita bicara," kataku sedikit menegaskan, dengan nada yang tidak terlalu tegas sebenarnya.

Dia lalu tersenyum di depanku. Aku jadi ....

“Ya sudah. Mari kita bicara kalau begitu. Apapun 'permulaannya', biar lepas dari prasangka-prasangka,” katanya, lagi sambil tersenyum.

Aku menatap wajahnya sejenak, kaget dengan akhir kalimatnya barusan. Aku mengangguk kemudian dengan pelan, dan mulai menarik ujung garis bibirku secara perlahan.

 – Sekitar 5—10 detik kemudian –

Kira-kira segitu lamanya aku mencoba mengulur waktu sambil minum lagi walau tidak terlalu haus. (Kalian paham lah, ya). Bukan apa-apa, aku hanya bingung harus memulai darimana. Tiba-tiba terlintas … deeeph ….

“Oya, kamu belum menikah, kan?”

Duh, kenapa dari sekian banyak pertanyaan, malah justru pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Tentu saja dia belum menikah, kan itu syarat utamanya kemarin-kemarin. Bodohnya aku … duh … duh ….

“Maaf, aku ralat. Kita sama-sama udah tau jawabannya."—aku kikuk, Gavin sedikit batuk—"Oke, next! Aku gak akan bertanya atau bahas soal apa motivasi kamu—dan motivasiku mungkin—jadi kita anggap saja kita sudah sama-sama tau soal itu. Justru yang mau aku tanyakan adalah,"—sedikit jeda dan berpikir—"kamu nulis dan gambar apa selama di sini? Kami juga bisa melihat soalnya.”

Gavin—lagi-lagi—hanya tersenyum sambil membuka resleting tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa kertas dari dalamnya, lalu menaruhnya di atas meja sambil mengarahkannya kepadaku agar aku tidak terbalik melihatnya.

Cukup banyak juga rupanya, batinku.

Aku mengambil kertas tersebut dan coba memperhatikan setiap tulisannya, ‘aku tak paham’, ini hanya tulisan-tulisan biasa saja. Sebagian justru kalimat-kalimat yang ada di buku papah seingatku—seingat aku lho ya.

Gambar-gambarnya pun lebih banyak … ya, gambar rumah dengan coretan-coretan gitu isinya. Jujur aku bingung dibuatnya .…

“Ini semua apa?” tanyaku pelan sambil terus memeriksa dan membaca semua tulisan dan gambar-gambarnya.

Mataku tak bisa lepas dari kertas-kertas di tanganku. Satu kertas selesai kubaca, aku lanjutkan dengan kertas lainnya. Begitu seterusnya.

“Baik, aku coba mulai, ya,”—Fokus— "Kamu tau, setelah kita berpisah dulu, sejujurnya aku masih terus mencari tau apa salahku, salah kamu, salah kita berdua—atau salah apapun itu pokoknya—aku terus mencari tau. Aku coba mencari tau sebenarnya hal mendasar apa sih yang membuat kita jadi berpisah selain karena alasan LDR itu. Tapi, selama aku mencari tahu, selama itu pula aku tetap tak menemukan jawabannya. Setelah semua itu, pertanyaan-pertanyaan seputar, soal apa; kenapa; bagaimana; seperti apa; dan seterusnya dan sebagainya; selalu saja melintas di kepalaku. Kepalaku jadi penuh dengan banyak sekali pertanyaan soal apa, kenapa dan sebagainya itu. Seandainya saja saat itu aku sudah tau soal apa dan kenapanya, mungkin aku akan merasa lebih tenang akhirnya. Setidaknya aku tau apa dan kenapa alasan dan juga penyebab mendasar—terbesar—dari semuanya. Dan waktu terus berjalan pada akhirnya, termasuk kita juga tetap berpisah pada akhirnya.

Diam sejenak.

"Jujur saja saat itu semuanya belum masuk ke dalam kepalaku, hatiku pun juga belum bisa menerima semuanya saat itu. Aku belum bisa menerima, kenapa akhirnya kita bisa berpisah sebagai pasangan kekasih. Mungkin saja kita punya cara pandang yang berbeda saat itu, atau mungkin juga, kita memang belum tau bagaimana cara mengelola perbedaan dan juga perpisahan yang terjadi pada kita di kala itu—Entahlah. Bagi kamu mungkin satu alasan sudah cukup untuk menentukan suatu tindakan, tapi bagiku … tidak dan belum cukup. Khusus bagiku saat itu, alasan kita berpisah saat itu sungguh tidak masuk akal … dan juga konyol. Di situ mungkin salah satu titik perbedaan antara kamu dan aku, dalam melihat suatu hal. Tapi apapun itu, aku akhirnya memahami, masing-masing orang mempunyai alasannya masing-masing dalam mengakhiri suatu hubungan. Aku jadi mengerti pada akhirnya—di kemudian hari pastinya. Aku mulai menerima dan bisa memahami alasanmu saat itu, yang pada saat itu, aku belum memahaminya. Sekonyol dan setidak masuk akal apapun itu, aku bisa memahami dan menghargainya pada akhirnya. Sampai sini aku hanya tau soal itu saja, tak tau apapun lagi selain semua itu.” Gavin sedikit menarik nafasnya.

Aku mulai memperhatikan setiap ucapannya, Semua kertas kembali aku letakkan di atas meja makan kami.

“Setelah semua itu, aku terus melanjutkan hidupku, begitupun juga kamu pastinya. Kita terpisah cukup lama pada akhirnya, tanpa pernah sekalipun terhubung atau berhubungan. Aku juga sampai heran dengan hal ini, kenapa bisa seperti itu pada waktu itu. Padahal seharusnya, mungkin bisa-bisa saja kita masih tetap berhubungan dan terus menjaga silaturahmi di antara kita berdua walau dengan cara yang lain misalnya. Tapi entah kenapa, itu tetap tidak pernah terjadi. Kita sama-sama 'hilang' dan 'menghilang'—sama-sama terpisah pada akhirnya. Sampai hari ini ... lihat saja … usia kamu sudah 34, dan aku sudah 35, dan kita berdua sedang duduk lagi di sini, di rumah ini. Rumah yang dulunya pernah aku datangi saat kita masih ‘pacaran’."

Gavin berhenti sejenak, tarikan nafasnya tipis sekali. Aku hanya memperhatikan saja.

"Ya, hanya saja memang saat ini kondisinya sudah berbeda, walau semuanya tetap sama pada tempatnya. Hanya berubah sedikit seingatku,"—Gavin diam lagi, begitupun aku—"Dan kamu tau, Ziy ... dulu papahmu pernah berpesan apa kepadaku saat kita masih ‘pacaran’?”

Sedikit kaget, dan otomatis saja kepalaku menggeleng.

“'Vin, kamu tau, Ziya?' Tau, om, jawabku saat itu dengan cepat. 'Kamu tidak tahu—belum tahu tepatnya—apapun soal Ziya, anakku itu. Coba kamu cari tau … lalu sampaikan kepada Om nanti saat kamu sudah tau,' Kurang lebih seperti itulah kata-kata papahmu kepadaku saat itu. Tapi walaupun hanya itu, pertanyaan itu terus berputar di dalam kepalaku—dan menjadi sering ‘menghantuiku’ setiap harinya. Terlebih lagi, tak berapa lama kemudian kita benar-benar berpisah. Kehidupanku terus berjalan setelahnya, begitupun kamu di tempat yang lainnya.

"Jujur saja, walau sudah berpisah denganmu, tapi pertanyaan papahmu selalu saja datang menghantuiku, dan semakin sering datang setiap harinya walau sengaja tidak aku pikirkan.” Gavin

Aku diam, kaget, bingung … silakan sebutkan saja semuanya. Laki-laki di depanku ini, apakah dia tahu sesuatu yang sama denganku? Batinku semakin mengusik dan juga begitu berisik. Aku coba mengakses sedalam mungkin perasaan, juga pikiranku, tapi kutemukan juga wujud sempurnanya. Ya, Tuhan, apalagi ini, batinku .…     

Gavin tampak sedang berpikir keras tentang sesuatu hal di dalam kepalanya. Kerut di dahinya seperti mulai berkumpul dan mulai membentuk garis-garis yang tajam dan semakin jelas kelihatannya.

“Bertahun-tahun aku coba memaknai itu semua. Satu persatu kepingannya aku susun, pelan-pelan dan hati-hati. Selain terus mencari tau apa yang papahmu tau saat itu—tentang dirimu—tapi juga mencari tau apa yang sebenarnya sedang aku alami. Tapi ternyata di satu sisi—hari ke hari—pertanyaan di dalam diriku ini mulai melebar dan meluas, dan juga mendalam. Aku jadi mulai sering berpikir tentang apa yang ada di dalam diriku sendiri; apa yang aku rasakan; apa yang aku pikirkan; apa yang aku katakana, dan apa yang aku perbuat, hingga lain seterus dan sebagainya. Intinya, aku justru akhirnya malah sibuk memikirkan yang aku rasakan dan pikirkan alih-alih tadinya aku mencari apa yang sebelumnya sedang aku cari, yaitu soal kata-kata papahmu dulu itu. Aku juga heran jujur saja. Padahal sebelum-sebelumnya, tak pernah aku sedalam itu memikirkan dan juga merasakan apa yang ada di dalam diriku sendiri. Yang banyak aku pikirkan selama ini yaa tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang terjadi di luar diriku saja selama ini. Berpikir soal bisnis, pertemanan, keluarga, serta urusan yang lain-lain pokoknya. Jarang atau hampir tidak pernah aku menyisakan waktu banyak untuk memikirkan apa yang ada dan terjadi di dalam diriku sendiri selama ini.

“Tapi apapun itu, intinya aku selalu mencari tau tentang semua itu—luar dan dalam. Semua pada akhirnya aku cari tau, dan terus mencari tau hampir setiap harinya, dan lagi-lagi … lagi-lagi … selalu ada nama dan sosok kamu di dalam semua pencarianku itu. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas aku ikuti saja semua petunjuk-petunjuk yang semakin membungkus diriku itu. Aku ikuti dan telusuri semuanya—semuanya, luar-dalam—satu persatu, secara perlahan-lahan. Itu saja yang aku tau, pada saat itu, hingga sampai saat ini.

"Entah kenapa aku akan mengatakan hal ini, tapi misalnya dalam hal bekerja contohnya … aku tidak mencari 'kekayaan' selama ini, terserah kamu percaya atau tidak. Ukuran utamaku bukan itu soalnya. Yang jelas selama ini aku hanya sibuk berjalan; sibuk bekerja; sibuk berjuang; sibuk melakukan dan juga sibuk memperjuangkan apapun itu—setiap harinya—sambil terus menelusuri semua jalan yang ada di depanku; dan kekayaan … kekayaan seperti begitu saja datang ke padaku. Padahal aku hanya berusaha 'setia pada diri sendiri' sambil terus berjalan dan bekerja setiap harinya. Itu saja yang ada di dalam hati dan pikiranku. Aku hanya berusaha untuk terus 'berjuang', dan menikmati semua proses perjalanan itu, tanpa memikirkan hasil akhirnya nanti akan seperti apa. Itu saja. Bukan maksudku untuk sombong, hanya saja … aku mencoba untuk 'lepas', serta 'keras dan cerdas' dalam menjalani semuanya itu, serta tidak mudah untuk 'terpesona' dalam setiap perjalanannya. Kita sama-sama tahu, dunia ini penuh distraksi di mana-mana, aku tak mau mudah teralih pada hal yang mungkin saja justru akan menyesatkan dan membahayakanku pada akhirnya.

"Ya memang, aku membangun dan mengembangkan kembali bisnis property ayahku yang hampir saja bangkrut karena suatu sebab. Dalam sebuah usaha, naik turun dan maju mundur itu pasti, kita sama-sama tahu soal itu. Tapi, aku seperti tidak terlalu peduli dengan semua grafik dan jalur itu—bukan benar-benar tidak peduli kalau kau tau maksudku. Tapi, ya, aku jalani saja semua itu, yang tentunya dengan perhitungan dan juga perbuatan di dalamnya. Intinya, aku terus saja mencoba berjalan … terus mencari tahu … terus berjalan setiap hari, sampai kemudian aku juga tak menyangka akan mendengar info viral itu. Aku kaget juga sebenarnya. Setelah selama ini aku selalu 'menelusuri' diri kamu di dalam kepalaku ini, aku justru mendapatkan dan mendengar kabar tentangmu, dari luar diriku ini. Aku kaget jujur saja. Dan, ya ... kamu tau, setelah itu aku langsung menghubungi Deeandra sahabatmu, dan ceritanya kemudian kamu sudah tau.” Gavin diam, begitupun aku. Kami sama-sama diam, dan tetap saling berpandangan.

­­__________

“Sudah ketemu?”

Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutku setelah diam saja sejak tadi.

“Kamu? Ya, sudah tentunya. Saat ini.”

“Maksudku, pertanyaan papahku—sudah ketemu?”

“Mungkin ….”

Lihat selengkapnya