Hey, aku ingin bercerita sesuatu, maukah kau mendengarkanku teman? Ini adalah kisah menyedihkan tentang sahabat baikku, Budi. Ia terbunuh di laboratorium kampus kami beberapa minggu lalu. Mayatnya terbujur kaku di lantai, dengan luka tusuk tepat dijantungnya. Lengan kanannya memegang sebuah tabung reaksi pecah yang airnya menggenang kesekitar. Badannya tidak berbau busuk, alih-alih aroma parfum wanita tercium begitu tajam dari bajunya. Teman, maukah kau berdiskusi denganku siapa pembunuhnya?
Luka tusuk di dada temanku itu janggal. Sudut lukanya sedikit bergerigi, seolah ditusuk oleh pisau yang memiliki ulir gerigi di matanya. Aku tahu siapa orang yang memiliki pisau itu di kampus ini. Namanya Adrian, dia adalah berandal angkatan kami. Tukang bully sekaligus orang yang paling aku benci, karena sering mengincarku dan Budi. Tetapi siang itu giliran aku yang mengincarnya. Aku menghampiri tempat nongrkongnya –di parkiran motor kampus- dan tanpa basa-basi menanyakan perihal pisau itu. Adrian mengamuk ketika aku mengetahui tentang pisau itu dan menuduhnya telah membunuh Budi. Amukannya semakin menjadi ketika aku berkata bahwa aku menguntitnya ketika membeli pisau itu minggu lalu. Adrian membantah tuduhanku dengan mengatakan bahwa pisau itu hanya untuk koleksi belaka. Ia justru merasa berterimakasih pada Budi karena memberitahu toko yang menjual pisau unik itu padanya. Teman, apakah Adrian pembunuh sahabat baikku?
Tabung reaksi yang dipegang sahabat baikku itu begitu mencurigakan. Ditambah lagi aku mencium bau sedikit asam dari genangan air itu. Ternyata air yang ada didalam tabung itu bercampur asam sulfat pekat. Aku tahu siapa orang yang bertanggung jawab pada bahan-bahan kimia di laboratorium. Namanya Edwin, dia adalah juara angkatan kami. Mahasiswa berprestasi sekaligus saingan abadiku dalam mengejar IPK sempurna. Sore itu aku menghampirinya yang tengah membersihkan laboratorium. Wajahnya ketakutan ketika aku bercerita tentang air yang tercampur asam sulfat itu dan menuduhnya membunuh Budi. Wajahnya semakin pucat pasi ketika aku bisa menunjuk di rak mana ia menyimpan botol berisi penuh cairan asam sulfat itu. Edwin menepis tuduhanku dengan mengatakan bahwa cairan asam sulfat itu sengaja disembunyikan untuk penelitian rahasianya. Ia justru berterimakasih pada Budi karena telah dibantu mengerjakan penelitian itu, yang nantinya akan mereka berdua ajukan untuk pekan ilmiah tahun ini. Teman, apakah Edwin pembunuh sahabat baikku?
Bau parfum wanita yang tericum dari mayat sahabat baikku itu sangat aneh. Iya tentu aneh, karena aku sangat mengenal bau parfum itu. Itu adalah bau parfum milik Camila. Camila adalah bunga kampus kami, perempuan tercantik seangkatan sekaligus mantan pacarku. Malam itu aku menghubunginya dan kami bertemu didepan indekosnya. Mata Camila berkaca-kaca ketika aku menceritakan tentang bau parfum itu dan menuduhnya membunuh Budi. Tangisnya pecah ketika aku menuduhnya berhubungan badan dengan Budi saat itu, sebelum akhirnya membunuhnya. Camila mengelak dari tuduhanku, dengan mengatakan bahwa parfum itu sudah lama tidak dibelinya lagi setelah habis. Menurutnya, untuk apa membeli lagi parfum yang dulunya adalah pemberian dariku lalu kemudian menggunakannya untuk bercumbu dengan sahabat baik mantanya sendiri. Teman, apakah Camila pembunuh sahabat baikku?
Teman-teman kampusku rata-rata menuduh Adrian. Namun polisi tidak berhasil menemukan bercak darah atau reaksi luminol pada pisau bergerigi miliknya itu. Teman-temanku lainnya mencurigai Edwin. Meski ditemukan bukti bahwa Budi menenggak campuran asam sulfat pekat, dan ditemukan juga sidik jari Edwin di tabung reaksi yang pecah itu. Tetapi Edwin mengelak bahwa ia setiap hari membersihkan laboratorium, tentu akan ada sidik jarinya disemua tabung reaksi yang ada di sana. Hanya beberapa orang dekat saja yang menduga Camila adalah pembunuh Budi, orang-orang yang mengetahui cinta segitiga antara aku, dia, dan Budi. Tetapi Camila sudah tidak memiliki parfum kenangan itu lagi.