Riuh rendah suara dentang pedang beradu telah menjadi sunyi. Suara erangan lirih dan jeritan penghabisan mulai terdengar sayup. Saat itulah Amir Ambyah melihat dari langit biru dan berawan cerah itu muncul sebentuk sosok bercahaya yang kemudian turun mendekati dirinya.
Belum sempat ia melihat jelas sosok tersebut, tiba-tiba tubuhnya telah dibalut cahaya terang yang menyilaukan matanya dan ia merasa melayang di udara sebelum kemudian dicampakkan.
“Di mana aku? Apakah aku sudah moksa? Inikah nirwana?”
Pertanyaan-pertanyaan itu segera tersusun dalam kepalanya. Amir Ambyah memandang sekeliling dan merasa bahwa ia masih berada di bumi meski semua terasa asing.
Kemudian ia melihat sosok yang kini sudah berwujud seperti seorang manusia biasa seperti dirinya. Sosok itu memakai jubah berwarna putih, dengan kulit juga terlihat pucat seperti orang-orang dari Barbaria sebelah utara. Mungkin lebih pucat lagi. Sosok itu memiliki mata berwarna seperti batu pirus yang lebih cerah.
Kepada sosok itu, Amir Ambyah bertanya, “Siapakah kau, dan mengapa kau membawaku ke sini?”
Sosok itu tersenyum sebelum menjawab, “Aku Anka Mada, yang menulis takdirmu sejak semula.”
“Aku tak percaya! Aku lebih percaya pada kemenakanku yang telah diangkat menjadi nabi. Ia mengatakan bahwa hidup dan mati seorang anak manusia itu tidak pernah lepas dari kuasa Ilahi!”
“Tak mengapa jika kau meyakini yang demikian. Aku pun setuju dengan hal itu.”
“Lalu mengapa kau mengatakan hal seperti tadi?”
Lagi-lagi sosok itu tersenyum ramah kepada Amir Ambyah sebelum menjawab, “Mungkin aku salah bicara, tapi yang jelas, orang-orang setelahmu akan selalu membicarakan kita. Kau, Amir Ambyah dan takdirnya untuk berjalan dan berkuasa dari Arabia sampai Atas Angin dan Manca Negara.”
Amir Ambyah mendengus. Kepalanya berputar memandangi sekeliling lalu mendesak Anka Mada dengan pertanyaan dan tuntutan, “Di mana kita sekarang ini? Bawa pulang aku ke pasukanku sekarang juga!”
“Tenang saja, Tuan. Tempat ini tidak terlalu jauh dari lokasi pertempuran tadi. Kau bisa kembali ke pasukanmu dengan segera. Namun, aku hanya ingin memperkenalkan kau pada seseorang yang mungkin akan menyadarkanmu bahwa apa yang terjadi selama ini tidak lebih dari sekadar permainan dalam kehidupan. Bukan soal apa yang kau yakini atau yang mereka imani. Bukan tentang hal yang bersifat atau berkenaan dengan – seperti katamu “ilahi.” Ini semua murni semata perkara lahiriah manusia yang bernafsu untuk apa saja, seperti cinta, harta, kekuasaan, dan sebagainya.”