Siasat Orang Buangan

Dedy Tri Riyadi
Chapter #2

Hasutan itu Telah Dimakan Bandarian

Pria di hadapan Amir Ambyah itu tetap bersikap tenang meski urat-urat kecil di wajah Amir Ambyah tampak menegang dan sesekali terdengar dari mulut yang tertutup suara gigi bergesekan.

Pria itu tetap melanjutkan ceritanya bahwa pada suatu saat, ia membantu sebuah kerajaan untuk melawan kerajaan lain dalam sebuah peperangan. Kemudian, raja dari kerajaan yang dibantunya memintanya untuk datang ke istana mereka.

Namun karena ia selalu berhati-hati dalam bersikap, ia memilih mendirikan tenda di dekat istana raja tersebut. Dalam peristiwa lawatan tersebut, dirinya mendapat pelayanan istimewa dari keluarga kerajaan. Yang membawakan makanan dan minuman ke kemahnya adalah para putra-putri kerajaan. Di situlah ia mengenal putri tertua anak raja temannya itu.

Timbullah perasaan cinta kepada putri tersebut. Maka ia pun memberanikan diri melamar putri itu dan ternyata gayung bersambut. Meski begitu, sang putri memintanya untuk menunggu jawaban resmi dari pihak kerajaan.

Namun yang terjadi justru kekecewaan. Lama menunggu jawaban, kerajaan itu kedatangan tamu dari negeri jauh yang memusnahkan harapannya akan jawaban sang putri.

“Perempuan itu, maksudku putri itu, lebih memilih untuk menerima lamaran dari tamu kerajaan itu?” Amir Ambyah menyela cerita pria tersebut.

“Tidak tepat begitu, yang aku dengar.”

“Apa yang kau dengar tentang perubahan keputusan dari putri itu?”

Pria di hadapan Amir Ambyah menyeka mulut yang sebenarnya tidak ada kotoran apa-apa di sana dan sepertinya ia melakukan itu hanya untuk meredakan emosinya belaka sebelum ia menjawab pertanyaan Amir Ambyah tadi.

"Ada cerita tak mengenakkan aku dengar tentang tamu itu. Untuk menunjukkan keperkasaannya, tamu kerajaan itu datang dengan membawa kulit seekor binatang yang buas dan besar untuk dipajang di tembok benteng istana. Ia melakukan itu seolah memberitahukan kepada seluruh penduduk bahwa dirinya telah membuat wilayah kerajaan itu jadi aman sejak kedatangannya. Dengan modal itu, ia mengajukan lamaran kepada putri raja. Sama seperti kepada diriku, putri itu memintanya menunggu saat yang tepat untuk menjawab. Dalam masa menunggu, datanglah tamu kerajaan lain yang tak lain adalah putra sulung dari tamu tersebut. Mengetahui bahwa pelamarnya sudah memiliki istri dan anak yang sudah besar, sang putri memberitahu bahwa ia tidak mau dinikahi oleh tamu tersebut. Namun yang terjadi adalah pemaksaan kehendak. Raja temanku diminta segera melangsungkan pernikahan antara tamu tersebut dan putri yang telah dilamarnya.”

Amir Ambyah menyela perkataan dari pria tersebut, “Cerita dusta kau percaya!”

“Yang mana yang cerita dusta? Ceritaku atau cerita tentang tamu kerajaan itu?”

Sambil menghentakkan kaki dan mengangkat tangannya bergerak ke sana ke mari, Amir Ambyah menggerutu tanda protes pada perkataan pria tersebut.

“Semuanya! Mulai dari sosok yang mengaku bernama Akna Mada sampai pada ceritamu tentang putri yang dilamar dan tamu kerajaan itu. Aku tahu siapa saja yang kau maksud itu! Dan mengakulah bahwa kau adalah Raja Jobin, musuhku!"

Pria itu masih tetap terlihat tenang seperti tanpa emosi sama sekali meski ia menghadapi Amir Ambyah yang seakan setengah mengamuk.

“Kalau begitu, ceritakan kepadaku siapa sebenarnya Raja Jobin itu.”

Maka mengalirlah dari mulut Amir Ambyah tentang Raja Jobin yang diakunya sebagai musuh. Bahwa ia tidak pernah mengenal Raja Jobin sebelumnya, baik di tanah kelahirannya di Arabia maupun dalam pengembaraannya sampai Medayin di Atas Angin. Amir Ambyah mendengar namanya ketika raja Kistaham kembali menyerang Medayin setelah lamaran untuk Pangeran Kobat kepada Putri Dewi Muninggar ditolak dengan alasan Dewi Muninggar telah dipersunting olehnya. Raja Jobin dari kerajaan Kaos diminta membantu pasukan Raja Kistaham untuk menggempur Medayin. Meski berhasil mengalahkan Raja Kistaham dan Pangeran Kobat, Amir Ambyah tidak berhasil mengalahkan Raja Jobin. Justru dalam pertempuran di daerah yang disebut sebagai wilayah Baktiadar, ia mendapatkan luka di jidatnya akibat pedang Raja Jobin. Luka itu membuatnya harus melarikan diri pulang ke Arabia.

“Karena itu kau dendam dengan Raja Jobin?”

“Bukan soal itu saja. Yang namanya Raja Jobin seperti ada di mana-mana ketika aku hendak melebarkan kekuasaan di Atas Angin dan Manca Negara!”

“Pantas kau demikian marah sampai hari ini, meski kau telah memenangkan pertempuran besar di Purwakanda.” Timpal pria tersebut sambil tersenyum, entah untuk berapa kali ia melempar senyum pada Amir Ambyah.

“Ada satu peristiwa yang tak dapat kulupakan tentang dirinya.”

“Apakah itu?”

“Setelah ia menyatakan diri takluk kepadaku di Kuristam, bukannya berlaku baik malah merusak ketentraman di Kaos dan membunuh sebagian besar pasukanku, sementara aku tengah istirahat di Arabia setelah perang besar di Biraji.”

Pria itu kembali tersenyum, dan saat melihatnya Amir Ambyah merasa seperti ada yang salah dengan perkataannya.

“Kenapa kau tersenyum begitu? Ada yang salah dengan perkataanku?”

“Tidak. Tidak. Tidak ada yang salah. Namun yang aku tahu ceritanya tidak seperti itu.”

Setelah perkataan tersebut, suasana di dalam gua itu mendadak hening. Sepertinya alam ingin mengembalikan keseimbangannya sebelum pertemuan mereka terjadi. Tak berapa lama, kelelawar-kelelawar penghuni gua secara serentak mengepakkan sayapnya lalu terbang untuk mencari mangsa. Suara kepakan itu memenuhi gua membuat Amir Ambyah dan pria tersebut terdiam lebih lama dari jeda yang tadi tercipta.

Baik Amir Ambyah maupun pria yang belum memperkenalkan nama itu memejamkan mata seolah ingin mencari kedamaian di tengah hiruk pikuk yang diciptakan oleh kelelawar-kelelewar itu, selain kepak sayap juga cericit mereka.

Lamat-lamat pikiran tentang masa lalu tercipta dari keduanya. Pikiran yang kemudian membentuk sebuah gambaran tentang seseorang bernama Patih Bestak. Ia adalah patih dari Prabu Nusirwan, Raja Medayin.

Lihat selengkapnya