Setahun telah berlalu kini Pratama menduduki jabatan baru sebagai kepala divisi. Tinggalnya juga sudah pindah ke perumahan di dalam lingkungan pabrik.
Bersama keluarganya sekarang Tama menikmati fasilitas lebih dibandingkan sebelumnya.
Pada hari itu Pratama mengantar printout kebutuhan penambahan ruangan untuk diserahkan kepada General Affair.
Mesin baru pengolahan ferrofin datang lagi beberapa buah jadi kebutuhan adanya bangunan baru untuk tempat mesin-mesin bak pengolahan ferrofin mutlak dibutuhkan.
Jadi Pratama ajukan design dan proyeksi biayanya ke General Affair untuk dikerjakan dibawah kontrol divisi itu.
Ketika hendak memasuki pintu kantor Head Office G.A, Tama urungkan.
Di ruang tamu banyak orang bukan karyawan. Sepertinya ada tamu yang bicara dengan Head Office G.A bersama beberapa stafnya.
Lalu Tama berjalan lurus ke ruangan staff dan menemui seorang wanita yang duduk paling dekat di ruangan staff.
"Bu Rita, saya titip printout ini buat Pak Robert." Ujar Pratama ke wanita gendut yang sibuk mencatat di meja kerjanya.
Sejak tadi Tama mendengar suara seorang pria yang mengenakan stelan jas. Suaranya lantang apalagi pintu ruangan tidak ditutup. Dia bicara dengan tangan ikut main mematut-matut raut mukanya yang bersemangat berdebat.
"Ada apa itu?" Tanya Tama. Rita maklum lalu memberikan penjelasan sambil menerima lipatan kertas dari tangan Tama.
"Itu Pengacara dari pihak orang tua Dahlia dan orang tua almarhum Yoga.
Tama melihat selain orang G A. ada delapan tamu termasuk pengacara. Sepertinya ada 2 pengacara karena Tama melihat dua orang yang mengenakan stelan jas. Dan 2 orang itu yang gencar bicara dengan Head Office G.A.
"Soal apa lagi? Bukankah kasusnya sudah selesai." Tanya Tama.
"Pak Tama belum tahu perkembangan baru ya?" Ujar Rita.
Tama mengangkat bahu.
"Pihak pengacara bilang Kasus itu bukan laka lantas, tetapi pembunuhan." Papar Rita. "Ada saksi baru yang melihat mobil Lykan Hypersport di TKP sebelum kedua korban ditemukan oleh polisi."
"Hubungannya apa dengan pembunuhan?" Tanya Tama menjadi penasaran.
"Saksi melihat orang-orang di mobil itu menurunkan 'Barang-barang' pada malam kejadian. Mereka ronda dari kampung sekitar lokasi."
Tama manggut-manggut kembali. "Tapi kenapa saksi-saksi baru muncul sekarang?"
"Itulah yang saya heran," aku Rita. "Katanya merekalah yang pertama kali melihat kedua korban lalu mengontak ke Polsek.
Mereka curiga melihat ada mobil menurunkan barang yang ternyata dua korban itu. Tetapi sebelum para peronda tiba di TKP, mobil itu sudah pergi karena para peronda bawa lampu-lampu senter yang dinyalakan.
Tetapi keterangan para peronda itu tidak dijadikan Berita Acara Pemeriksaan dan belakangan dari berita diketahui polisi menyatakan laka lantas.
Dari hasil visum juga pengacara meragukan itu laka lantas."
"Padahal kan bisa ditanyakan ke Dahlia, apa sebenarnya yang terjadi?" Tukas Pertama.
"Gak bisa, Dahlia malah depresi dan udah setahun ini tinggal di Rumah Sakit Jiwa Sumber Waras ..."
"Rumah sakit jiwa...?" Gumam Pratama.
"Gara-gara mengalami laka lantas hingga pacarnya tewas, Dahlia depresi hingga masuk rumah sakit jiwa, kasihan ..." Ujar Rita sambil memandang ke langit-langit sok serius. Ballpoint nya diketuk-ketuk ke dagunya yang tebal.
Tetapi Pratama sebaliknya membayangkan apa yang sesungguhnya terjadi malam itu hingga Dahlia depresi.
Dahlia diseret ke dalam mobil oleh Bobby ..."
"Jadi pengacara dan orang tua korban datang ke sini untuk bertemu Pak Hartono ya?" Simpul Tama.
Rita mengangguk.
"Tapi Pak Hartono sedang pergi ke London.
Di rumah paling ada ibu dan anak-anaknya."
"Itu yang disampaikan Pak Robert kepada mereka. Tetapi mereka ngotot dan tidak percaya sebelum bicara langsung dengan Pak Hartono."
"Apakah mereka sudah melapor ke polisi?" Tanya Tama.