DAY6 - Letting Go
Sigrah tahu, akan tiba hari di mana ia menemukan situasi seperti sekarang ini. Pergi, angkat kaki dan menapaki jalan hingga jauh, jauh sekali sampai ia tidak memiliki hasrat untuk menoleh ke belakang lagi.
Hanya saja, ini terasa begitu cepat dan tiba-tiba. Akash memberi kado terburuk di hari ulang tahunnya yang ke-16. Dan betapa ucapan "selamat ulang tahun" terdengar amat memuakkan dan omong kosong di saat bersamaan. Sigrah tidak pernah mandamba akan dapat ucapan berisi harapan dan doa-doa baik, perayaan, bahkan pelbagai hadiah serta sederet peristiwa lainnya seputar ulang tahun. Karena Sigrah tahu, bahwa setiap hari adalah perihal menunggu kejutan yang tak akan pernah disangka-sangka. Sampai hari itu tiba, tepatnya kini, Sigrah dituntut untuk menerima dan menghadapi. Tanpa kesiapan apa-apa.
Padahal, sebenarnya bisa saja Sigrah menyuarakan seruah kalimat protes. Bagaimana mungkin Akash melepas anak di bawah umur untuk tidak hidup bersama lagi? Bukankah itu melanggar Undang-Undang yang berlaku? Tapi lagi-lagi, persetan dengan hukum! Setidaknya, Akash masih cukup berbaik hati dengan memberinya uang transportasi lengkap bersama alamat seseorang di secarik kertas yang sudah tidak keruan bentuknya.
Selepas terjebak dalam kereta ekonomi yang terasa berabad-abad lamanya, Sigrah turun dan mencari kendaraan umum paling murah yang bisa mengantarkannya sampai ke tempat tujuan.
"Yakin ke Bentala, Mas?" tukang ojek paruh baya itu bertanya sekali lagi, memastikan. "Itu wilayah paling ujung. Dan... apa ya, istilah kasarnya. Dipenuhi para penyamun dan pekerjaan-pekerjaan illegal, Mas. Mau ngapain ke sana?"
Sigrah sempat terdiam dalam waktu cukup lama. Menelaah satu per satu kemungkinan dan memproses asumsi yang tidak seharusnya ia pikirkan begitu terlalu. "Iya ke sana. Mau nyari seseorang, Pak."
"Ya wis kalau begitu. Tak antarkan, tapi coba pikir-pikir lagi kalau mau menetap di sana, ya."
Sigrah mengangguk dan tidak berkata apa-apa lagi. Kendaraan roda dua itu melaju dengan kecepatan sedang. Seumur-umur Sigrah hidup di ibu kota, baru kali ini Sigrah menyadari tempat yang ia cari terlalu jauh dari hiruk pikuk. Sekalipun rumah yang dulu ia huni bersama Akash juga berlokasi jauh dari sentuhan keramaian, tapi Sigrah masih bisa mengakses sinyal dan merasakan bagaimana Jakarta dengan segenap suguhan metropolisnya.
Terhitung sekon ini, Sigrah semakin jauh dari kehidupan yang ia geluti sebelumnya. Tukang ojek itu tidak memberhentikannya tepat di depan rumah sebagaimana tertera di kertas. Sigrah sempat kebingungan mengingat jam sudah menunjukkan pukul lewat sembilan malam. Bermodalkan senter redup yang disediakan ponsel tanpa kamera bekas Akash yang diturunkan kepadanya, Sigrah membaca alamat itu sekali lagi dan kembali menyusuri gang-gang sempit yang dihiasi banyak lubang.