Fletch - Tiga Pagi
"HAH, NGELAWAK! LU BECANDA KAN?"
Akash melengos. Bersandar pada sofa buluk yang tersedia di ruang paling belakang tempat ia bekerja sebagai tukang seduh kopi. Sedang tangannya masih memegang ponsel dan memandangi balasan yang ia kirim untuk Sigrah beberapa jam lalu. "Bagian mana sih, dari kata-kata gue yang memuat unsur lawaknya?"
"Semuanya, Asu!" Ijal, si pemilik kedai itu kontan menyambar dan menyeret kata kasar. "Gila, Man! Sumpah, gila. Gue yang kepala tiga dan statusnya masih lajang aja nggak kepikiran ampe ke sana." Tangan Ijal bergerak-gerak sebagai pendukung penyampaiannya kali ini. "Pantes lo milih nggak pulang. Mampus dah lo dikoyak-koyak sepi!"
Tawa Akash membahana. Terlebih mencerna kalimat akhir yang kawannya itu pinjam dari salah seorang Penyair tanah air. "Anjrit! Apa isi kepala gue segitu transparannya?"
"Halah tai." Ijal masih dijejal rasa kesal. Demi meredakan kekecewaan yang berbalut amarah, Ijal mengempaskan bokongnya di kursi kayu yang berbataskan meja bundar dari tempat Akash duduki. "Kash, kenapa lo ngebiarin Sigrah tinggal sama Panya, sih?" Rasa-rasanya, Ijal sudah mengalahkan keruwetan ibu-ibu di muka bumi. "Timing-nya nggak tepat, Kampret. Bahkan sampai kapan pun gak pernah tepat! Ah, kalo begini, mulut gue gatel banget mau ngeluarin ragam binatang piaran di kepala."
"Ya ditepat-tepatinlah. Toh, hidup sama gue gak bakal mengubah apa-apa. Kenapa, sih? Kok lo kenceng banget protes? Gue sebagai bokapnya aja gak segitunya."
"Payah!" Ijal mengejek. "Nyesel, Kash. Lo bakal nyesel setelah ini. Tunggu aja."
Hening di antara keduanya melilit cukup lama. Sayup-sayup, lagu milik Feast yang terputar menyelinap masuk ke pendengaran mereka. Sampai akhirnya, Ijal kembali berujar. Seakan masih menyimpan banyak pasokan pertanyaan yang siap diutarakan.
"Kash, gue sohib lo. Dari anak ingusan sampe sekarang gue masih sendiri dan lo punya Bayanaka yang udah remaja. Gue paham banget gimana susahnya lo ngebesarin dia. Tanpa Panya, Kash. Perempuan itu nggak tau apa aja yang udah lo lewatin dan lo korbanin buat Sigrah. Walaupun... ya, lo lebih seperti teman daripada sosok ayah. Tapi tetep aja! Lo nggak seharusnya nyerahin Sigrah ke Panya segampang ini."
Akash memejam mata, siap sedia untuk tertidur. "Udah ah, ngantuk."
"Gini, nih. Kagak demen banget gue sama orang yang biasanya ngebacot jadi diem kayak ta—"
"Jal, cuma satu. Sederhana banget. Gue pengen Sigrah ngerasain gimana rasanya tinggal sama nyokap. Terlepas dari kayak apa cara Panya meranin dirinya sebagai ibu. Biar entar, ada yang bisa Sigrah ceritain dari kesan dia tinggal sama yang namanya nyokap. Mulia dong, niat gue? Dulu, waktu bocah, tuh anak hobi banget nanya soal emaknya. Nah, sekarang jawabannya biar dia cari tau sendiri aja."
Ijal masih belum puas. Dan entah kenapa, setiap dari argumentasi yang Akash berikan terdengar tidak waras. "Tapi makin ke sini, Sigrah juga nggak terlalu musingin lagi soal ibunya. Serumah sama lo aja udah cukup dia bilang. Sesimpel itu, Akash Gandana. Kejam lo halus banget. Apa lo nggak mikir dari sisi Sigrah? Ujug-ujug lo biarin dia pergi dan nyari sendiri kediaman Pa—bangsat, Kash!" Ijal mendelik. Urung membereskan perkataannya. "Hari ini ulang tahun Sigrah kan?"
Seperti tidak ada yang perlu diperdebatkan, Akash mengangguk terlampau tenang. "Iya. Gue udah ngucapin selamat ulang tahun dan ngasih hadiah berupa kesempatan buat tinggal bersama Panya. Itu bakal jadi kado paling spesial, Jal. Gue yakin seratus persen."