Daun Jatuh – Resah Jadi Luka
Sigrah heran, mengapa teman-temannya pada suka perkelahian dan menjadikan teman yang lain sebagai bulan-bulanan. Setiap hari pasti selalu ada perkara yang diciptakan. Entah itu mengganggu anak perempuan atau menindas teman yang suka menyendiri lewat pelbagai kejahilan. Walaupun terus-terusan menyaksikan suguhan semacam itu, tetap tidak menjadikan Sigrah untuk ambil peran sebagai pahlawan kesiangan. Sigrah lebih memilih berpijak pada opsi seakan tidak terlibat dalam keributan. Bukankah menyenangkan cukup duduk dan membaca buku lalu bertanya apa yang tidak kita tahu perihal sesuatu kepada guru?
Sampai tiba pada gilirannya—yang Sigrah pikir tidak akan menimpanya karena ia selalu menjauhkan diri dari kawan-kawan berkelakuan menjengkelkan—situasi juga menyeret Sigrah merasakan hal serupa. Sigrah hendak pulang sekolah ketika "Biang Onar" itu secara tidak langsung mencegatnya.
"Ayahnya Bayanaka preman!"
"Ih, sereeem! Pantesan ayah Bayanaka nggak pernah dateng buat ngambilin rapor. Pasti sibuk malakin orang-orang di pasar."
Sok tahu! Sigrah menyangkal dalam hati. Bibir penuhnya sedikit mencebik.
"Sini, berantem. Pasti udah gede Bayanaka mau ikut-ikutan jadi preman."
"Kalo ayah Bayanaka preman, terus ibunya Bayanaka ngapain dong?"
"Iya, ya. Bayanaka nggak pernah dianterin ke sekolah dan dibawain bekal. Mana suka ditegur guru karena seragamnya kusut lagi. Apa Bayanaka nggak punya ibu?"
Dihajar bertubi-tubi melalui perkataan seperti itu membuat ketahanan Sigrah luruh juga. Dia berbalik dan meniti satu per satu teman kelasnya yang sedang kencang tertawa sambil mengarahkan telunjuk ke arah dirinya. Ekspresi Sigrah masih terjaga. Tenang dan tidak rusuh. Hanya saja isi kepala dan kerja jantungnya diam-diam kisruh.
"Memangnya, kenapa kalau ayah aku preman?" Sigrah balas menantang. "Yang penting, nggak pernah ngajarin buat banyak omong kayak kalian. Anak laki-laki, kalo suka ngejek nggak keren. Malah keliatan lembek kayak cewek."
Tidak terima disindir seperti itu, beberapa bocah begajulan tersebut melangkah besar-besar dan siap membuat perhitungan. Sigrah tidak bisa berbuat banyak mengingat ia hanya sendirian. Tatkala sudah menutup mata sebagai bentuk kespontanan, Sigrah merasa ada yang janggal. Kenapa lawannya tak kunjung mendaratkan pukulan?
Suasana seketika senyap.
"Kalo ketemu aku lagi, dan masih ganggu Bayanaka, aku hajar satu-satu."
Empat bocah laki-laki itu sudah lari terbirit-birit. Sigrah membuka mata dan menghela napas lega detik itu juga.
Seseorang yang lebih tinggi daripada Sigrah berbalik badan. "Lawan dong, Ibay! Kalo nggak ada Abe—si abang jago karate—udah habis kamu."
Sigrah mengangguk. Siap berjalan lagi untuk meninggalkan sekolah yang mulai sepi. "Mereka ngejek ayah Ibay preman, dan ngatain Ibay nggak punya ibu." Kala melangkah bersisian, Sigrah membentuk obrolan. Anggara Benjamin, biasa ia panggil Abe, adalah kakak kelasnya. Berselisih umur tiga tahun. Sekarang Abe kelas lima, belajar bela diri, dan anak Pak Polisi. Terlepas dari hubungan adik-kakak kelas di sekolah, Sigrah dan Abe sejatinya sudah dekat sedari orok layaknya saudara sendiri.
"Makanya, lawan!" Abe menyahut. Sambil mengepalkan tinju di udara dengan keberanian yang berapi-api di mata. "Kalo nggak ada Abe, mampus Ibay. Apa mau Abe bilangin ke Papa biar Ibay belajar karate juga?" Melihat Sigrah tak antusias, bahu Abe merosot. Menyerah. Ocehannya selalu berakhir sia-sia. Sigrah tetap Sigrah dengan diamnya yang melaut.
"Abe, entar kalo udah gede, temenin Ibay ketemu ibu, mau?" Sigrah berceletuk begitu saja. Ia mendongak melihat Abe yang masih anteng melingkarkan tangan di pundaknya. Tinggi Sigrah hanya sebatas bahu Abe saat itu.
"Hah?" Abe sedikit terkejut. Sekalipun posisinya lebih tua, Abe kerap merasa kebingungan kalau Sigrah sudah mengangkat topik tabu secara tiba-tiba. "Mau ngapain?"
"Ketemu aja. Terus minta tolong setrikain seragam sekolah Ibay yang suka diledek kusut dan kumal sama temen-temen."
Abe sempat termangu sebelum akhirnya tertawa guna mencairkan suasana. "Ah, Ibay!" tukasnya gemas. Menjadi anak tunggal seringkali membuat Abe kesepian. Hokinya, ada Bayanaka Sigrah yang membuat Abe bisa ekspresif menempatkan diri bak sosok kakak yang mengayomi adiknya. "Iya. Baju Abe juga sering kusut. Nanti, sekalian Abe minta tolong setrikain juga, ya, sama Ibu Ibay."