Jika kubiarkan langkah ini terus menggantung, aku hanya akan mendapatkan kekosongan. Jika kubiarkan tangan ini menghentak sesukanya, aku hanya mendapatkan beragam tulisan kosong. Jika kubiarkan mata ini memandang, aku hanya mendapati langit-langit kosong di depanku. Jika kubiarkan hati ini bebas, yang kutahu hanya ada dirimu. Hanya kau, dan tiada yang lain. Napasku, hidupku, seluruh warna pelangi jiwaku—adalah dirimu.
Namun kini aku bahkan tidak dapat menjumpai senyummu, tak dapat lagi kurasakan napasmu di sisiku. Tak dapat lagi kumiliki tawamu. Kita telah terpisahkan, dan aku tak sanggup mengejarmu. Selangkah pun, tak dapat kuraih bayanganmu. Di balik punggungmu yang menjauh, aku tertatih di sini. Menangis dalam diam, tanpa sanggup mendongak untuk sekedar memanggil namamu.
Nadimu berhenti, napasmu terampas, dan kesadaranku dihempas. Kenyataan telah menamparku, bahwa kau telah pergi ke dunia yang baru tanpa sempat mengajakku bersamamu. Kini di depan nisanmu, aku menangis tersedu.
—Di antara kita ada cinta. Bukan cinta yang sama, kendati kusadari sejak awal kita telah diikat oleh cinta dalam segitiga takdir.
Silent Love
MUNGKIN tidak akan ada yang menyangka, jika gadis—yang lebih mirip anak kecil—yang kini ada di depan kelas bobrok itu adalah seorang guru. Dia bahkan terlihat lebih kekanakan dari siswa SD di kelas itu. Senyumnya manis, suaranya riang. Dia mengajar sambil bermain, begitu gembira di tengah-tengah anak yang saling bercanda-tawa.
Saat suaranya berubah lebih tegas namun kental dengan aura keibuan, murid-muridnya duduk rapi dan mulai mendengarkan apa yang dijelaskan si guru muda. Pemandangan yang manis, sebuah kelas yang ideal. Dan itulah yang dirasakan dan disyukuri perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu setiap hari. Dia menyibukan diri dengan menghabiskan lebih dari sebagian harinya dengan mengajar di SD dan SMP. Dia memang bukan lulusan PGSD, namun sang gadis muda hanya membantu sekolah tua yang kekurangan guru.
Waktunya yang terkuras untuk mengajar sampai sore hari tidak membuatnya merasa cukup. Padahal sudah ada satu-dua sekolah tempatnya menjadi guru. Seolah tumpukan tugas yang harus ditanganinya masih ringan, dan dia punya cukup waktu luang untuk bermalas-malasan. Jadi dia membuka sebuah tempat les kecil di dekat rumahnya, dengan memanfaatkan rumah kosong yang dipinjamkan salah satu tetangganya yang berkecukupan lagi baik hati. Tentu dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu, dan sebagai imbalannya dia memberi les gratis pada semua anak Ibu Surti, pemilik rumah yang kini menjadi kelas kecilnya.