***
SIANG ini, jadwal mengajar Naira benar-benar kosong. Tidak ada satu pun kelas yang harus Naira hadiri baik di SD maupun SMP. Karena kebetulan satu-satunya kelas yang harus diisinya hari ini diliburkan untuk mengamankan TO provinsi siswa kelas IX SMP.
Tapi daripada pulang ke rumah dan malah menemukan Adam yang bisa tiba-tiba muncul kapan saja, Naira lebih suka berjalan-jalan di desa kecilnya yang asri. Terus melangkah menyusuri jalan-jalan yang dulu sering dia lewati saat menghabiskan waktu santainya semasa SMA, yang sudah sangat jarang dilaluinya semenjak memulai rutinitas padat mengisi kekosongan guru di sekitar daerah tempat tinggalnya.
Hingga kakinya tanpa sadar membawanya ke tempat itu.
Membawa berjuta kenangan membludak merayapi setiap jengkal naluri ingatannya, memancing embun di pelupuk matanya. Menyeruak tanpa bisa ditahan, bak bendungan retak yang kian lama kian parah. Dan saat ini adalah masanya bendungan itu roboh diterjang air bah—sampai derasnya dalam sekejap membanjiri wajah Naira. Kenapa dari sekian banyak tempat, harus tempat ini yang dituju kakinya melangkah? Kenapa harus di depan sebuah nisan yang terukirkan nama pemuda yang begitu—dicintainya.
Hampir dua tahun berlalu, dan Naira sama sekali tak bisa melupakan bagaimana Rian meninggalkannya. Menghembuskan napas terakhir tepat di depannya, dengan wajah damai yang menyiratkan kepuasan, tanpa penyesalan tertinggal di dunia fana. Berjalan ke alam yang lain, melewati fase yang dinamakan kematian, menuju tidur abadi.
Hembusan angin menerbangkan helaian panjangnya, menari-nari ditemani dedaunan yang berterbangan. Sesaknya semakin menjadi. Memuntahkan semua penyesalan dan sakit hati yang dipendam rapat selama dua tahun ini.
“Menangislah.” Bisik suara yang sangat dikenalnya, “Menangislah sepuasmu, Naira.”
Naira menggemeretakkan giginya. Tubuhnya bergetar menahan tangis yang semakin deras. Menyadari kehadiran Adam hanya membuatnya semakin merasa sesak, semakin kencang menangis tanpa peduli lagi. Satu hal yang benar-benar tidak disadari Naira, bahwa hanya di depan Adam dia bisa mengungkapkan semuanya—segala-galanya tanpa satu hal pun tertutupi.
Dalam dekapannya, Naira terisak begitu dalam. Jemari si gadis meremas kuat bagian depan kemeja Adam, membasahi kain tipis itu dengan likuid bening yang selalu bersembunyi dalam diam. Diletakannya dagu lancip si pemuda di atas kepala Naira, ikut bersandar pada gadis rapuh di pelukannya. Karena dia merasakan hal yang sama.
Kau menitipkan hal yang merepotkan, Rian, batin Adam tersenyum miris.
Siapa sangka bayangan transparan bersandar di cabang pohon, tersenyum kecil melihat dua orang yang sangat berarti baginya tengah berbagi tangis dan luka bersama.