Silent Love

Zaky Uzumo
Chapter #3

Cerita 1/1—Teman Sekaligus Musuh (3)

***

 

HARI Minggu yang cerah dimulai dengan kicau burung dari pohon-pohon tinggi yang menjulang di sekitar rumah-rumah warga desa. Sejuknya udara, wangi tanah, dan daun muda menyebar di seluruh penjuru desa. Menciptakan suasana yang begitu didambakan penduduk kota yang sehari-hari ditemani polusi.

Embun masih manja di dedaunan sampai pukul delapan pagi dengan dingin yang menyegarkan. Matahari menyinari desa kecil itu dengan riang bebas. Pancaran cahayanya menyeruak di antara celah-celah daun dan batang pohon, dibiaskan dengan anggun oleh rona pagi yang begitu kuat memanjakan mata dan hati para pecinta alam sejati.

Di sinilah Naira, di depan rumahnya yang mungil terduduk sambil bersenandung ceria. Sesekali gadis muda itu bangun dan menyirami bunga-bunga melati yang tumbuh subur berdampingan dengan bayam liar nan cantik. Beberapa siswanya yang kebetulan melewati rumahnya memberi salam, menyapanya dengan hangat selayaknya suasana akhir pekan yang begitu dirindukan setiap orang untuk bersantai.

Tapi bukan Naira jika dia melewatkan satu hari tanpa bersama dengan buku atau muridnya. Ekor matanya sesekali melirik jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangannya, memastikan pekerjaannya selesai tepat waktu sebelum para muridnya sampai untuk belajar bersama. Jika di hari biasa Adam selalu mengunjungi rumahnya untuk sekedar makan siang, maka di hari libur pemuda kekurangan pekerjaan itu pasti sedang tidur-tiduran di teras rumahnya sambil membaca buku sejak pagi buta. Si pemuda beriris hitam sudah seperti satpam yang digaji lauk makan sehari-hari di rumah Naira, jika tidak bisa dikatakan anak kucing yang selalu tersesat di depan rumahnya.

Pemilik surai arang itu biasa duduk dengan memeluk lutut di samping pintu rumah Naira, kemudian mengintip dari lengannya yang terlipat saat pemilik rumah membuka pintu. Seperti hewan mungil yang butuh perlindungan. Tapi bagi Naira dia hanya anak nakal yang suka menumpang makan dan merecoki dapurnya.

Sama seperti pagi tadi, saat suaranya menyebut nama Naira dengan berat baritone lirih yang malah membuat Naira memutar matanya bosan. Tatapan mata Adam yang terlihat memelas membuat wanita yang berprofesi sebagai seorang guru itu semakin sebal. Lalu hanya dengan pintu yang dibiarkan terbuka, Naira tahu Adam akan mengikutinya ke dapur atau menumpang tidur di sofa setelah mengambil selimut di kamar Naira. Terkadang Naira sampai lupa Adam memiliki rumah yang tergolong mewah di dekat bukit tempat pusara Rian.

“Ibu Naira!” panggil anak-anak kelas tiga SD saat Naira sedang merapikan ruang tamunya—setelah Adam puas mengacak-acak dapurnya. Segera si guru muda bergegas menuju pintu, lalu menyambut anak-anak lucu nan menggemaskan itu untuk memasuki rumahnya.

Lihat selengkapnya