“Okta!!! Jihan!!! Aku ada se ... sua... tuuu ....” Teriakan Key semakin melemah saat melihat Okta menangis sesenggukan di bahu Jihan. Melihat kedatangan Key dengan teriakan, Jihan menempelkan jari telunjuknya ke arah mulut, mengisyaratkan Key untuk tenang.
Key bingung. Ia bertanya kepada Jihan dengan gerakan mulutnya tanpa bersuara, “Okta kenapa?”
Jihan pun menjawab dengan gerakan tangannya membentuk silang yang terlepas, yang berarti selesai, atau yang ditangkap Key adalah putus dengan melihat kondisi Okta menangis di bahu Jihan. Mengerti dengan jawaban Jihan, mulut Key sedikit menganga karena terkejut. Sesegera mungkin ia menghambur ke arah Okta dan memeluk gadis itu.
“Sabar, Okta, masih ada laki-laki lain yang lebih baik dari Tomi,” ucap Key menenangkan Okta.
Okta melepas kepalanya yang menyandar di bahu Jihan, menatap Key penuh kesedihan dan kekecewaan.
“Aku mencintainya, Key. Tapi, kenapa dia mengkhianati aku? Dia selingkuh, Key! Dia selingkuh dengan Rita, temanku sendiri,” jelas Okta sambil sesenggukan. Melihat kesedihan itu, Key memeluk Okta dengan erat. Ia ingin menguatkan gadis itu bahwa ada dirinya dan Jihan yang selalu ada di sampingnya.
Jihan ikut menenangkan Okta. Menurut Jihan sudah sejak satu jam yang lalu Okta menangis tak kunjung reda. Key semakin sedih, dan ia memutuskan mengurungkan niat untuk memberi kabar bahagia bahwa ia jadian dengan Galih. Key tidak mau bahagia di atas derita Okta. Sekarang yang terpenting adalah mengembalikan keceriaan Okta. Urusan dirinya jadian dengan Galih biar menjadi urusan nanti. Jika Okta sudah tenang, Key akan memberitahukan kabar bahagia itu.
Hari-hari Okta menjadi sendu. Tak ada lagi keceriaan di wajahnya, bahkan Okta yang terkenal cerewet pun menjadi pendiam seribu kata. Tatapannya selalu saja kosong. Matanya terlihat sembap dan lingkaran hitam itu melekat di area sekitar matanya. Key dan Jihan jadi ikut sedih. Bagaimana bisa, seorang Tomi dapat mengubah Okta yang penuh dengan keceriaan itu menjadi gadis pemurung? Sedalam itukah cinta Okta kepada Tomi? Sesakit itukah luka yang dibuat Tomi untuk Okta? Gadis itu sudah seperti mayat hidup, bernyawa, tapi tidak melakukan apa-apa.
“Udahlah, Okta, jangan kamu menangisi Tomi. Mungkin ini jalan Tuhan untuk kamu. Tuhan ingin menunjukkan bahwa Tomi bukanlah laki-laki yang baik untuk kamu. Biarkan dia pergi,” ucap Jihan menenangkan Okta yang kembali menangis mengingat Tomi.
“Jika kalian memang berjodoh, kapan pun itu akan bersama nantinya. Percayalah, Tuhan nggak akan salah memilih jodoh untuk hambanya,” timpal Key.
Okta menatap kedua sahabatnya bergantian. Lalu, memeluk mereka dengan erat. Seakan merekalah kekuatan dirinya untuk kembali menjalani kehidupan tanpa Tomi.
Okta menghela napas berat. Ia menghapus air matanya, lalu tersenyum ke arah sahabatnya. Okta menatap keduanya penuh arti.
“Sekarang, nggak ada alasan lagi untuk aku nggak tersenyum. Karena kalianlah alasanku untuk kembali tersenyum. Makasih,” ucap Okta berusaha tegar. Ia memeluk kembali kedua sahabatnya.
“Aku akan move on, dan setelah kupikir-pikir, ada seseorang yang lebih tepat. Seharusnya aku menyadari sejak dulu,” ucapan Okta membuat kedua sahabatnya terbelalak. Mereka penasaran ingin tahu siapa laki-laki yang dimaksud Okta.
Dengan tersenyum Okta menatap mantap kedua sahabatnya. Ia lalu berdiri dari duduknya dan berucap pelan, mencondongkan tubuhnya di sela kedua sahabatnya.
“Dia ketua OSIS kita,” bisik Okta dan berlalu pergi, malu. Pipinya terlihat bersemu merah. Jihan dan Key terkesiap mendengarnya.
“Hey! Are you serious?” ucap Jihan, lalu mengejar Okta.
Key terpaku di tempat. Ia kembali mencerna kata-kata Okta barusan, “Dia ketua OSIS kita.”
Jantung Key berdetak lebih cepat. Ia menatap ke arah Okta dan Jihan yang sedang berlari. Matanya mengabur, air matanya seakan ingin lolos dari bendungan kelopak matanya.
“Galih,” desis Key seakan melepas sesak. Air matanya berhasil lolos, lalu begulir pelan membasahi pipinya.
Momen itu sanggup membuat hari-hari Key menjadi mellow.
“Key!!” Teriakan Jihan membuyarkan pikirannya.
Key mendesah pelan saat melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 4.00 sore. Jihan dan Okta pasti sudah berada di rumahnya.
Key membuka pintu kamarnya, mendapati Jihan sudah berdiri sambil menyengir kuda di depannya.
“Siap berangkat, Nona Key?” tanya Jihan layaknya dayang-dayang kerajaan.
Key menggeleng lemah. “Kayaknya aku nggak jadi ikut. Aku kurang enak badan.”
“Yaaahhh,” desah Jihan kecewa. “Nggak seru kalau nggak ada kamu, Key. Pasti nanti Okta sibuk nyemangatin Galih, nah aku? Masa iya ikut-ikutan, hmmm ....”
Apalagi Okta menyemangati Galih, membuat aku semakin tidak enak hati, batin Key.
“Woy! Malah ngelamun, ayolah Key, ya-ya-ya,” ucap Jihan mengerjap-ngerjap memohon. Ia mengatupkan kedua tangan di bawah dagunya.
“Maaf, Jihan, kali ini nggak bisa. Aku bener-bener nggak enak badan.”